Memahami Etika Jurnalistik

Sebelum kita bicara tentang etika jurnalistik, perlu kita ulas lebih dulu etika profesi. Hal ini karena jurnalis atau wartawan, seperti juga dokter dan ahli hukum, adalah sebuah profesi (profession). Apa yang membedakan suatu profesi dengan jenis pekerjaan lain?

Profesi menurut Webster's New Dictionary and Thesaurus (1990)
1] adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan khusus dan seringkali juga persiapan akademis yang intensif dan lama. Seorang dokter ahli bedah, misalnya, sebelum bisa berpraktek membutuhkan pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia dan pendidikan, sekaligus latihan, cukup lama dan intensif.

Seorang ahli hukum juga harus belajar banyak tentang ketentuan hukum sebelum bisa berpraktek. Seorang jurnalis juga perlu memiliki keterampilan tulis-menulis, yang untuk mematangkannya membutuhkan waktu cukup lama, sebelum bisa menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.
Contoh-contoh ini membedakan dengan jelas antara profesi dengan pekerjaan biasa, seperti tukang becak, misalnya, yang tidak membutuhkan keterampilan atau pengetahuan khusus.
Huntington[2] menambahkan, profesi bukanlah sekadar pekerjaan atau vocation, melainkan suatu vokasi khusus yang memiliki ciri-ciri: 1.     Keahlian (expertise)2.     Tanggungjawab (responsibility)3.     Kesejawatan (corporateness).

Sedangkan etika (ethics) adalah suatu sistem tindakan atau perilaku, suatu prinsip-prinsip moral, atau suatu standar tentang yang benar dan salah. Dengan demikian secara kasar bisa dikatakan, etika profesi adalah semacam standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat profesi tertentu.
Etika jurnalistik adalah standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaannya.Etika jurnalistik ini penting. Pentingnya bukan hanya untuk memelihara dan menjaga standar kualitas pekerjaan si jurnalis bersangkutan, tetapi juga untuk melindungi atau menghindarkan khalayak masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari si jurnalis bersangkutan.  

Perumus Kode Etik 
Lalu siapa yang berhak merumuskan Kode Etik Jurnalistik ini? Kode Etik biasanya dirumuskan oleh organisasi profesi bersangkutan, dan Kode Etik itu bersifat mengikat terhadap para anggota organisasi.

Misalnya: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) membuat Kode Etik Kedokteran yang mengikat para dokter anggota IDI. Begitu juga Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia), atau Ikahi (Ikatan Hakim Indonesia), dan seterusnya.Di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai salah satu organisasi profesi jurnalis, telah merumuskan Kode Etik sendiri.

AJI bersama sejumlah organisasi jurnalis lain secara bersama-sama juga telah menyusun Kode Etik Jurnalis Indonesia, yang diharapkan bisa diberlakukan untuk seluruh jurnalis Indonesia.Selain organisasi profesi, institusi media tempat si jurnalis itu bekerja juga bisa merumuskan Kode Etik dan aturan perilaku (Code of Conduct) bagi para jurnalisnya.

Harian Media Indonesia, misalnya, sudah memiliki dua hal tersebut.[3] Isinya cukup lengkap, sampai ke soal "amplop", praktek pemberian uang dari sumber berita kepada jurnalis, yang menimbulkan citra buruk terhadap profesi jurnalis karena seolah-olah jurnalis selalu bisa dibeli.

Meskipun disusun oleh organisasi profesi atau institusi media yang berbeda-beda, di Indonesia atau pun di berbagai negara lain, isi Kode Etik pada umumnya bersifat universal dan tak banyak berbeda.
Tentu saja tidak akan ada Kode Etik yang membolehkan jurnalis menulis berita bohong atau tak sesuai dengan fakta, misalnya. Variasi kecil yang ada mungkin saja disebabkan perbedaan latar belakang budaya negara-negara bersangkutan. Untuk gambaran yang lebih jelas, sebagai contoh di sini disajikan Kode Etik AJI.  

Kode Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI)[4] 
  1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
  2. Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
  3. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
  4. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
  5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
  6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen.
  7. Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
  8. Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
  9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
  10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental, atau latar belakang sosial lainnya.
  11. Jurnalis menghormati privasi seseorang, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
  12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual.
  13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
  14. Jurnalis dilarang menerima sogokan.
  15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
  16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
  17. Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
  18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
Majelis Kode Etik            
Anggota Majelis ini dipilih untuk masa kerja dua tahun. Jumlah dan kriteria anggota Majelis ini ditentukan oleh Kongres AJI. Jika ada anggota Majelis yang tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka pengisian lowongan anggota tersebut ditetapkan oleh Majelis dengan persetujuan pengurus AJI Indonesia. 
Tugas Majelis Kode Etik, antara lain: 
  1. Melakukan pengawasan dalam pelaksanaan Kode Etik
  2. Melakukan pemeriksaan dan penelitian yang berkait dengan masalah pelanggaran Kode etik oleh anggota AJI.
  3. Mengumpulkan dan meneliti bukti-bukti pelanggaran Kode Etik.
  4. Memanggil anggota yang dianggap telah melakukan pelanggaran Kode Etik.
  5. Memberikan putusan benar-tidaknya pelanggaran Kode Etik.
  6. Meminta pengurus AJI untuk menjatuhkan sanksi atau melakukan pemulihan nama.
  7. Memberikan usul, masukan dan pertimbangan dalam penyusunan atau pembaruan Kode Etik.
Dewan Pers 
Selain Majelis Kode Etik dari AJI, yang cakupan wewenangnya terbatas hanya untuk anggota AJI, di tingkat nasional juga kita kenal lembaga Dewan Pers, yang salah satu fungsinya adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.

Dewan Pers adalah lembaga independen yang dibentuk pada 19 April 2000, berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU No. 40 Tahun 1999, dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.

Anggota Dewan Pers terdiri dari 9 (sembilan) orang, yang mewakili unsur wartawan, pimpinan perusahaan pers, dan tokoh masyarakat yang ahli di bidang pers.Selain menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik,

Dewan Pers berfungsi memberi pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.Dewan Pers juga memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. 

Sedangkan tugas Dewan Pers adalah: 
  1. Memberikan pernyataan penilaian dan rekomendasi dalam hal terjadinya pelanggaran Kode Etik, penyalahgunaan profesi, dan kemerdekaan pers.
  2. Keputusan Dewan Pers bersifat mendidik dan non-legalistik.
  3. Keputusan atau rekomendasi Dewan Pers dipublikasikan ke media massa.
Harus diingat dan digarisbawahi di sini bahwa Dewan Pers bukanlah lembaga pengadilan, yang bisa memasukkan jurnalis pelanggar kode etik atau pemimpin redaksi media massa bersangkutan ke penjara! Keputusan Dewan Pers bukanlah vonis pengadilan.

Artinya, kalangan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tetap terbuka untuk menempuh jalur hukum (lewat pengadilan), yang keputusannya memiliki kekuatan hukum. Seperti sudah diutarakan di atas, keputusan Dewan Pers bersifat mendidik dan non-legalistik. 



Pengertian dan Sumber Hukum Administrasi Negara

a. Hukum administrasi negara adalah peraturan hukum yang mengatur administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan pemerintahnya yang menjadi sebab hingga negara itu berfungsi. (R. Abdoel Djamali).
b. Hukum administrasi negara adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana negara sebagai penguasa menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugasnya. (Kusumadi Poedjosewojo.)
c. Hukum administrasi negara adalah hukum yang menguji hubungan hukum istinewa yang diadakan, akan kemungkinan para pejabat melakukan tugas mereka yang khusus. (E. Utrecht.)
d. Hukum administrasi negara adalah keseluruhan aturan yang harus diperhatikan oleh para pengusaha yang diserahi tugas pemerintahan dalam menjalankan tugasnya. (Van Apeldoorn.)
e. Hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum antara jabatan-jabatan dalam negara dengan warga masyarakat. (Djokosutono.)
Istilah hukum administrasi negara adalah terjemahan dari istilah Administrasi recht (bahasa Belanda).

2. SUMBER-SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Pada umumnya, dapat dibedakan menjadi dua :
a. Sumber hukum material, yaitu sumber hukum yang turut menentukan isi kaidah hukum. Sumber hukum material ini berasal dari peristiwa-peristiwa dalam pergaulan masyarakat dan peristiwa-peristiwa itu dapat mempengaruhi bahkan menentukan sikap manusia.
b. Sumber hukum formal, yaitu sumber hukum yang sudah diberi bentuk tertentu. Agar berlaku umum, suatu kaidah harus diberi bentuk sehingga pemerintah dapat mempertahankannya.

3. OBYEK HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Pengertian obyek adalah pokok permasalahan yang akan dibicarakan. Dengan pengertian tersebut, yang dimaksud obyek hukum administrasi negara adalah pokok permasalahan yang akan dibicarakan dalam hukum administrasi negara.

Berangkat dari pendapat Prof. Djokosutono, S.H., bahwa hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara jabatan-jabatan dalam negara dan para warga masyarakat, maka dapat disimpulkan bahwa obyek hukum administrasi negara adalah pemegang jabatan dalam negara itu atau alat-alat perlengkapan negara dan warga masyarakat.

Pendapat lain mengatakan bahwa sebenarnya obyek hukum administrasi adalah sama dengan obyek hukum tata negara, yaitu negara (pendapat Soehino, S.H.). pendapat demikian dilandasi alasan bahwa hukum administrasi negara dan hukum tata negara sama-sama mengatur negara. Namun, kedua hukum tersebut berbeda, yaitu hukum administrasi negara mengatur negara dalam keadaan bergerak sedangkan hukum tata negara dalam keadaan diam. 

Maksud dari istilah ”negara dalam keadaan bergerak” adalah nahwa negara tersebut dalam keadaan hidup. Hal ini berarti bahwa jabatan-jabatan atau alat-alat perlengkapan negara yang ada pada negara telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan dengan fungsinya masing-masing. Istilah ”negara dalam keadaan diam” berarti bahwa negara itu belum hidup sebagaimana mestinya. Hal ini berarti bahwa alat-alat perlengkapan negara yang ada belum menjalankan fungsinya. Dari penjelasan diatas dapat diketahui tentang perbedaan antara hukum administrasi negara dan hukum tata negara.

4. BENTUK-BENTUK PERBUATAN PEMERINTAHAN
Pengertian pemerintahan dibedakan menjadi dua :
1. Pemerintahan dalam arti luas, yaitu pemerintahan yang terdiri dari tiga kekuasaan yang masing-masing terpisah satu sama lain. Ketiga kekuasaan itu adalah :
a. Kekuasaan legislatif.
b. Kekuasaan eksekutif.
c. Kekuasaan yudikatif.

Pemerintahan kekuasaan diatas berdasarkan teori Trias Politica dari Montesquieu. Tetapi, menurut Van Vollenhoven, pemerintahan dalam arti luas berbeda dengan tori trias politica. Menurut Van Vollenhoven pemerintahan dalam arti luas mencakup :
a. Tindakan / kegiatan pemerintahan dalam arti sempit (bestuur).
b. Tindakan / kegiatan polisi (politie).
c. Tindakan / kegiatan peradilan (rechts praak).
d. Tindakan membuat peraturan (regeling, wetgeving).

Sedangkan pemerintahan dalam arti luas menurut Lemaire adalah pemerintahan yang meliputi :
a. Kegiatan penyelengaraan kesejahteraan umum (bestuur zorg).
b. Kegiatan pemerintahan dalam arti sempit.
c. Kegiatan kepolisian.
d. Kegiatan peradilan.
e. Kegiatan membuat peraturan.

Sedangkan Donner berpendapat, bahwa pemerintahan dalam arti luas dibagi menjadi dua tingkatan (dwipraja), yaitu :
a. Alat-alat pemerintahan yang menentukan hukum negara / politik negara.
b. Alat-alat perlengkapan pemerintahan yang menjalankan politik negara yang telah ditentukan.

2. Pemerintahan dalam arti sempit ialah badan pelaksana kegiatan eksekutif saja tidak termasuk badan kepolisian, peradilan dan badan perundang-undangan. Pemerintahan dalam arti sempit itu dapat disebut dengan istilah lain, yaitu ”administrasi negara”. Bentuk perbuatan pemerintahan atau bentuk tindakan administrasi negara secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Perbuatan hukum / tindakan hukum.
2. Bukan perbuatan hukum.

Perbuatan pemerintahan menurut hukum publik dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Perbuatan menurut hukum publik bersegi satu.
2. Perbuatan menurut hukum publik bersegi dua.

Perbuatan menurut hukum publik bersegi satu, yaitu suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh aparat administrasi negara berdasarkan wewenang istimewa dalam hal membuat suatu ketetapan yang megatur hubungan antara sesama administrasi negara maupun antara administrasi negara dan warga masyarakat. 

Misalnya, ketetapan tentang pengangkatan seseorang menjadi pegawai negeri. Perbuatan menurut 
hukum publik bersegi dua, yaitu suatu perbuatan aparat administrasi negara yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih secara sukarela. Misalnya mengadakan perjanjian pembuatan gedung, jembatan dengan pihak swasta (pemborong).
Source: Ade Didikirawan

Paper Perbandingan Hukum Perdata (Indonesia dan Afrika Selatan)

Sistem hukum Afrika Selatan secara luas dikenal sebagai salah satu sistem hukum yang didasarkan pada hukum Romawi-Belanda. Alasannya historis. Pada pertengahan abad ketujuh belas-, pemukim Belanda mulai menempati bagian dari Afrika Selatan yang kini dikenal sebagai Tanjung Barat. Namun pada tahun 1806, pasukan Inggris mengalahkan pemukim Belanda dan mengambil Tanjung Harapan sebagai milik Inggris. Inilah yang kemudian menyebabkan hukum Afrika Selatan dipengaruhi  sejarah pemerintahan kolonial berturut-turut yaitu dari hukum Belanda ke hukum Inggris.
Ketika Inggris menguasai Cape pada tahun 1806 mereka tidak memaksakan sistem substantif  hukum mereka dalam cara yang formal. Hal ini menyebabkan adanya sistem hukum campuran sisten hukum yang berlaku di Afrika Selatan. Lebih uniknya lagi masih ada hukum adat yang diberlakukan dalam hal – hal tertentu terutama yang menyangkut hukum keluarga. Pemberlakuan ketiga hukum ini semakin menegaskan adanya pluralisme hukum di Negara tersebut.
Indonesia sendiri mengalami keadaan yang hampir serupa dengan Afrika Selatan. Meskipun sudah memiliki hukum perdata yang telah terkodifikasi yaitu Kitab Undang – undang hukum Perdata (KUH  Perdata), namun masih ada aturan – aturan lain yang mengatur tentang perdata, seperti Undang – Undang Perkawinan, Undang – Undang Agraria, Hukum Perdata adat serta berbagai peraturan lainnya.
Maka dari itu, dalam tulisan ini, hanya akan dibahas mengenai perbandingan sistem keperdataan antara Negara Indonesia dan Afrika selatan terutama yang menyangkut sistem hukum campuran. Hal ini karena memilih wilayah hukum terkait bukan tugas yang mudah sehingga perlu dipastikan apakah Negara yang dimaksud benar- benar mengunakan sistem hukum perdata campuran atau tidak.

1.2                         RUMUSAN MASALAH
Seperti yang telah dikemukakan dalam halaman latar belakang, ada beberapa masalah yang akan dibahas pada paper ini,yaitu:
1.2.1        Sistem hukum apa yang mempengaruhi hukum perdata di Negara Afrika Selatan?
1.2.2        Bagaimana perbandingan sistem hukum perdata di Afrika Selatan dengan Indonesia?
1.3  TUJUAN PENULISAN
1.3.1        Mengetahui sistem hukum perdata di Negara Afrika Selatan
1.3.2        Mengetahui perbandingan antara sistem hukum Perdata Indonesia dan Afrika Selatan.
1.4  METODE PENULISAN
Dalam penyusunan paper ini, penulis menggunakan metode study kepustakaan dengan mencari bahan serta materi melalui beberapa buku yang sudah diterbitkan. Selain itu penulis juga menggunakanm media internet untuk mendapatkan materi tambahan serta artikel – artikel yang terkait untuk mengembangkan pembahasan berdasarkan masalah- masalah yang ada.

BAB II

TINJAUAN UMUM
2.1 Tinjauan Umum Hukum di Afrika Selatan
Afrika Selatan memiliki 'hybrid' atau 'sistem hukum campuran', yang terdiri dari sejumlah tradisi hukum yang berbeda yaitu sistem hukum perdata yang diwarisi dari Belanda, sebuah sistem hukum umum yang diwarisi dari Inggris , dan hukum adat warisan sistem dari Black (sering disebut sebagai hukum adat Afrika). Sistem ini telah memiliki keterkaitan yang kompleks, dengan pengaruh bahasa Inggris yang paling jelas dalam aspek prosedural dari sistem hukum dan metode ajudikasi, dan Romawi-Belanda pengaruh yang paling terlihat dalam hukum substantif pribadi.
Sumber hukum yang berlaku Afrika Selatan adalah :
(1) hukum perundang-undangan yang dibuat oleh badan legislatif (yang paling penting yang merupakan Konstitusi)
(2) hukum umum (yang mencakup Romawi-Belanda 'penguasa tua' dan preseden hukum diperoleh dari kasus hukum )
(3) hukum adat Afrika
(4) asing dan hukum internasional
Sumber hukum yang mengikat atau otoritatif harus diikuti oleh hakim dalam membuat keputusan, sedangkan sumber persuasif tidak mengikat pada keputusan mereka. Pengaruh sumber otoritatif untuk keputusan tertentu tergantung pada jenis sumber, posisi hakim dalam hirarki pengadilan, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan pertanyaan di tangan.
Sistem pengadilan di Afrika Selatan terorganisir secara hirarkis, dan terdiri dari (dari terendah ke otoritas hukum tertinggi): Magistrates 'Courts, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Banding Agung, otoritas tertinggi dalam hal-hal non-Konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi, yang otoritas tertinggi dalam masalah-masalah konstitusional. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan terakhir untuk menentukan apakah suatu masalah Konstitusi atau tidak. pengadilan khusus tertentu juga telah disediakan oleh badan legislatif, untuk menghindari backlog dalam infrastruktur administrasi utama hukum di antaranya adalah Pengadilan Klaim Kecil, yang menyelesaikan sengketa yang melibatkan jumlah moneter kecil. Selain itu juga terdapat pengadilan adat Afrika, yang menangani secara eksklusif dengan hukum adat.












BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sistem Hukum Perdata di Afrika Selatan
      Sejarah hukum modern Afrika Selatan yaitu prosedur hukum Afrika Selatan sejak sekitar 1827, belum diteliti secara ekstensif. Para penulis utama yang berkonsentrasi pada subjek ini adalah Erasmus, De Vos  dan Van Loggerenberg. Para penulis menyatakan bahwa hukum acara perdata Afrika Selatan yang berlaku sampai saat ini merupakan hukum Inggris, meskipun model-Belanda Romawi mendominasi di bidang hukum perdata substantif.
Meskipun hukum Romawi memerintah berlakui di Tanjung sampai awal abad ke 19, namun ini berubah segera setelah Inggris mengambil alih koloni Cape dari Belanda untuk kedua kalinya pada tahun 1806. Peralihan ini menimbulkan perubahan dalam fungsi sistem pengadilan dan tampaknya model prosedural sipil dari Raad van Justitie (High Judicial Council) di Tanjung, yang didasarkan pada model dari Hof van Holland (Pengadilan provinsi Belanda) di Den Haag dan yang tahun 1580an menimbulkan masalah serius saat terjadi peralihan sistem hukum.
Dari perspektif modern, fakta bahwa Pengadilan memainkan peran aktif dalam melakukan tindakan – tindakan terutama yang terkait dalam hukum acara dan menjalankan hukum substantif.  Sebagai contoh, pemeriksaan dari saksi yang tidak lakukan di pengadilan terbuka, tapi secara pribadi oleh hakim, yang dikirimkan ke Pengadilan. Padahal dari perspektif hukum Inggris, bukti pemeriksaan dan pemeriksaan silang saksi tidak dilakukan oleh para advokat, tetapi oleh hakim, meskipun sederhana jelas dapat dilihat terjadi suatu masalah.
Untuk memperbaiki situasi tersebut, yang disebut Piagam sehingga Kehakiman, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1828, direnovasi struktur pengadilan, yang menjadi terpusat sesuai dengan model Inggris. Dalam piagam ditetapkan bahwa pembelaan dan proses dari Mahkamah Agung yang baru dibentuk dan Mahkamah Circuit harus dalam bahasa Inggris, dan bahwa Pengadilan dapat bingkai aturan sendiri, perintah dan peraturan, memberikan aturan dan bentuk praktek, proses dan melanjutkan telah dijadikan , sejauh keadaan koloni diizinkan, dengan mengacu pada peraturan yang sesuai dan bentuk-bentuk digunakan di Pengadilan Record di Westminster.
Pada tahun 1830, Ordonansi Nomor 72 dengan ketentuan bahwa bukti-bukti hukum itu agar sesuai dengan praktek yang sama 'Pengadilan of Record ini di Westminster', sedangkan juri sipil diperkenalkan di Cape pada 1854 (dihapuskan lagi di 1927). Apakah ini berarti bahwa Afrika Selatan harus dikecualikan dari sebuah proyek penelitian berfokus pada sistem hukum campuran? Ini tampaknya tidak menjadi masalah, karena hukum acara perdata Afrika Selatan mempunyai berbagai aspek yang menarik dari sudut pandang perbandingan.
Hukum acara perdata Afrika Selatan adalah salah satu sistem hukum umum pertama prosedur sipil yang tidak memiliki peraturan prosedural terpisah untuk Hukum dan Ekuitas. Hal ini, tentu saja, tidak mengejutkan, karena hukum substantif dari koloni Romawi-Belanda itu tetap berlaku setelah Inggris mengambil alih. Setelah Perang Anglo-Boer Afrika Selatan (1899 -1902), Britania Raya mengambil alih semua bagian Afrika Selatan, dan pada tahun 1910, Uni Afrika Selatan dibentuk dengan empat provinsi: Tanjung, Natal, Orange Free State, dan Transvaal. Setelah penggabungan ini, sistem hukum dari empat wilayah dibuat lebih konsisten, sebagian melalui inovasi legislatif, dan sebagian lagi melalui kegiatan Divisi Banding baru dari Mahkamah Agung, pengadilan tertinggi negara-luas dalam segi 1909 UU Afrika Selatan.
Saat ini, banyak komentator menganggap sistem hukum yang dihasilkan sebagai sistem hibrid benar-benar, campuran hukum Inggris dan hukum sipil Belanda prinsip-Romawi. Sementara banyak doktrin-doktrin hukum dan pengaturan hukum pada umumnya dapat ditelusuri ke warisan sipil, prosedur pengadilan berutang banyak pada tradisi hukum umum, dengan sidang permusuhan, laporan kasus rinci (yang meliputi penilaian dissenting), dan kepatuhan terhadap preseden.
Sistem hukum formal didominasi oleh warisan Eropa. Tentu saja, sebagian besar Afrika Selatan tidak keturunan Eropa. Selama masa pemerintahan Inggris, suatu sistem "asli Administrasi 'didirikan. Menurut kebijakan ini, masyarakat adat dapat memerintah diri mereka sendiri sesuai dengan hukum adat dalam hal tertentu, misalnya untuk aturan perkawinan. Negara kolonial mempertahankan yurisdiksi eksklusif atas hal-hal seperti kejahatan serius. Masalah hukum adat diselesaiakn oleh kepala suku dan kepala desa, dengan hak untuk naik banding ke Pengadilan Banding adat, yang dikelola oleh hakim. Afrika Selatan mempertahankan sistem hukum yang plural, dengan hukum adat yang tersisa sistem hukum bagi mereka yang ingin menjadi subyek itu.
3.2  Perbandingan sistem hukum perdata di Afrika Selatan dengan Indonesia
Perbandingan hukum perdata Indonesia dan Afrika Selatan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu :
1.      Sumber Sistem Hukum Perdata Formal dan Materiil.
Seperti yang telah dikemukakan di atas terdapat perbedaan mendasar antara hukum yang digunakan di Afrika Selatan. Dalam hukum perdata materiil / substantive diberlakukan hukum Belanda / Romawi sedangkan dalam pelaksaannya, (hukum formal) masih menggunakan Hukum Inggris. Hal ini dikarenakan latar belakang sejarah terutama pada masa penjajahan yang terjadi di negara tersebut. Meskipun dalam beberapa kasus dilakukan suatu penyesuaian antara kedua sumber hukum tersebut.
Indonesia sendiri memilki hukum Perdata yang sama – sama bersumber dari Hukum Belanda, yaitu Burgelijk Wetboek yang berlaku berdasarkan asas konkordasi. Perbedaannya, dalam hukum formal, Indonesia juga bersumber dari hukum Belanda yaitu Het Herziene Inlandsh Reglement/HIR, dsb.

2.      Kedudukan hukum adat dalam sistem keperdataan
Indonesia dan Afrika Selatan sama – sama memberlakukan hukum adat dalam sistem hukum perdata. Di Afrika Selatan, hukum adat khusus diberlakukan untuk perkawinan, sedangkan di Indonesia hukum adat diberlakukan disamping hukum perdata Nasional yang sudah terkodifikasi yaitu KUH Perdata.

3.      Sistem hukum campuran
Pemberlakuan sistem hukum campuran dalam hukum perdata terkadang memiliki kekurangan tersendiri dalam pelaksanaan di lapangan. Di Afrika Selatan, adanya perbedaan antara sumber sistem hukum materiil dan hukum formil sempat menimbulkan permasalahan dalam penyelesaian kasus perdata. Sedangkan di Indonesia, Perbedaan sistem hukum yang ada tidak terletak pada hukum materill dan formil, melainkan pada beberapa peraturan di bidang perdata diluar KUH Perdata. Namun hal tidak merupakan masalah karena adanya asas lex specialis derogate lex generalis. sehingga aturan hukum yang tidak diatur di KUH Perdata dapat diambil dari peraturan lain seperti Undang – undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Agraria, dan aturan – aturan lainnya.










BAB IV
PENUTUP
4.1  SIMPULAN
1.      Sesuai dengan latar belakang sejarahnya, terutama pada masa penjajahan, hukum di Afrika Selatan lebih dipengaruhi oleh hukum Inggris dan Belanda. Dalam hukum Perdata Materiil, lebih didominasi hukum Romawi/Belanda, sedangkan dalam pelaksaan hukum formalnya, masih menggunakan common law Inggris. Disamping itu,  khusus dalam hukum perkawinan di Afrika Selatan menggunakan Hukum adat setempat.
2.      Perbandingan antara sistem hukum perdata Indonesia dan Afrika Selatan dapat dilihat dari sumber sistem hukum perdata formal dan materiil yang digunakan, kedudukan hukum perdata adat dan sistem campuran yang digunakan dalam sistem hukum perdata.

            3.2 Saran – saran
Pada akhir penulisan ini penulis ingin menyampaikan saran sebagai berikut :
1.      Sistem hukum perdata yang ada di Indonesia sudah cukup baik, hanya saja perlu disesuaikan  kembali berbagai aturan yang berada di luar Kitab Undang – Undang Hukum Perdata sehingga tidak terjadi tumpang tinding dalam pengaturan hukum perdata di Indonesia.




                                                  DAFTAR PUSTAKA           

Hukum Afrika Selatan - Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas

 en.wikipedia.org/wiki/Law_of_South_Africa

Southern Cross: Hukum Perdata dan Hukum Umum di Afrika Selatan

GlobaLex - Meneliti Hukum Afrika Selatan

Perundang-undangan Afrika Selatan (Lexadin)

www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/oeur/lxwezaf.htm


Penegakan Hukum Bagi WNA Pelaku Pengedar Narkoba

Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia saat ini mengalami peningkatan yang luar biasa. Setelah sebelumnya Indonesia hanya merupakan negara transit, saat ini Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan dari peredaran gelap narkoba dan sebagai sumber (lokasi produksi) narkoba. 

Trend penyalahgunaan dan peredaran narkoba saat ini jangkauan permasalahannya semakin rumit dengan ditemukannya beberapa fakta di masyarakat yang antara lain : kecenderungan usia tingkat pemula penyalahgunaan narkoba yang semakin muda, tingginya angka penyalahgunaan narkoba dan yang lebih membuat cemas adalah tidak sedikit dari para pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika tersebut adalah warga negara asing (WNA).
Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi penulis untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kasus penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di Indonesia tertutama yang melibatkan WNA, perkembangan yang dimaksud disini akan lebih ditekankan pada peredaran narkoba dan penyelesaian kasus para WNA tersebut.



1.2            RUMUSAN MASALAH
Seperti yang telah dikemukakan dalam halaman latar belakang, ada beberapa masalah yang akan dibahas pada paper atau karya tulis ini,yaitu:
1.2.1        Bagaimanakah peredaran gelap narkotika dan psikotropika yang dilakukan oleh para WNA?
1.2.2        Bagaimana penyelesaian kasus para WNA tersebut serta hal – hal apa yang terkait dalam penegakan hukum bagi para WNA tersebut?

1.3              TUJUAN PENULISAN
Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam latar-belakang di atas, penyusunan paper ini bertujuan untuk memahami lebih jauh situasi masalah narkoba di Indonesia terutama yang melibatkan WNA. Pemahaman ini menjadi penting sehubungan dengan pengembangan suatu upaya strategis pencegahan dan penanggulangan masalah narkoba yang telah merupakan kasus internasional. Secara lebih spesifik, penyusunan paper ini bertujuan untuk:
1.3.1        Mengetahui bagaimana peredaran gelap narkotika dan psikotropika di Indonesia
1.3.2        Mengetahui penyelesaian kasus nakoba yang melibatkan para WNA




1.4  MANFAAT PENULISAN
1.4.1        Dapat meningkatkan pemahaman mengenai peredaran gelap narkotika dan psikotropika
1.4.2        Dapat berfungsi sebagai bahan analisa terhadap berbagai penyelesaian kasus yang melibatkan WNA khususnya yang terkait dengan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

1.5  METODE PENULISAN
Dalam penyusunan paper ini, penulis menggunakan metode study kepustakaan dengan mencari bahan serta materi melalui beberapa buku yang sudah diterbitkan. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan pemahaman dan juga mengembangkan pembahasan berdasarkan masalah- masalah yang ada. Disamping itu, penggunaan media internet dalam penyusuan paper ini bertujuan untuk menambah materi – materi terutama yang lebih aktual dalam konteks penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.








BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Peredaran gelap narkotika dan psikotropika oleh para W NA
Sebelum melangkah lebih jauh untuk mengetahui peredaran gelap narkotika dan psikotropika oleh para WNA, ada baiknya dibahas lebih dulu mengenai perkembangan kasus narkoba di Indonesia saat ini.
        Perkembangan kasus narkoba di Indonesia saat ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sebelumnya Indonesia hanya merupakan negara transit tapi saat ini Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan dari peredaran gelap narkoba dan sebagai sumber (lokasi produksi) narkoba. Ditemukannya beberapa laboratorium untuk pembuatan bahan psikotropika, pabrik ekstasi dan shabu memang merupakan suatu prestasi yang menonjol bagi Satgas Narkoba dan BNN. Namun demikian, sulitnya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tidak terlepas dari kuatnya jaringan dan besarnya nilai bisnis terlarang ini. Diperkirakan perputaran uang bisnis narkoba di tingkat dunia mencapai USD 400 miliar pertahunnya, sementara di Indonesia perputaran uang bisnis narkoba yang dijadikan sarana pencucian uang mencapai Rp300 triliun pertahun. Oleh karena itu, meskipun telah puluhan orang dieksekusi mati dan menunggu proses eksekusi mati, bisnis narkoba ini tidak kunjung mereda, bahkan semakin meningkat dengan modus yang semakin bervariasi.


Salah satu paradigma yang marak terjadi belakangan ini adalah keterlibatan WNA dalam peredaran gelap serta penyalahgunaan.narkotika dan psikotropika. Tersangka narkoba dari kalangan WNA meningkat setiap tahun, hal itu mengindikasikan sindikat peredaran gelap narkoba di Tanah Air digerakan oleh organisasi internasional dengan dukungan dana yang tidak terbatas, sarana teknologi canggih dan dijalankan oleh tenaga profesional dengan jaringan yang luas. Indonesia rawan terhadap peredaran narkoba dan bentuk kejahatan transnasional lainnya. Hal itu dilatarbelakangi oleh bentuk negara kepulauan dengan pantai yang terbuka dan posisi silang Indonesia sebagai jalur perdagangan lintasan. Faktor penunjuang lain adalah jumlah penduduk yang besar dan penerapan sistem pedagangan yang terbuka. Jaringan perdagangan gelap narkotika yang melalui negara ini, bisa diungkap Polri antara lain berasal dari sindikat ''Black African''. Mereka biasanya menyelundupkan narkotika jenis heroin dari Thailand, Laos, dan Myanmar dengan menggunakan kurir dari Nepal, Thailand, dan orang Indonesia sendiri. Selain WNA dari afrika, Australia merupakan salah satu “penyumbang” tersangka kasus narkoba di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kasus narkoba terutama di Bali yang melibatkan WNA Australia. Mulai dari Corby, hingga “Bali Nine” yang sempat menggegerkan kepolisian daerah Bali.
   Selain itu, berkaitan dengan semakin canggihnya modus pengiriman ditengarai beberapa negara juga menjadi pemasok tetap barang-barang haram tersebut. Negara-negara pemasok ini bahkan bisa dibilang mempunyai wilayah kerja tertentu. Untuk jenis mariyuana, diketahui Australia adalah pemasok utamanya. Sedangkan jenis heroin biasa dipasok dari kawasan segi tiga emas seperti Myanmar, Thailand, dan Laos.

        Adapun untuk jenis kokain, biasanya didatangkan dari Amerika Latin, seperti Kolombia dan Brasil. Sedangkan untuk ekstasi dan sabu, sampai saat ini, China, Hong Kong, dan Taiwan masih merajai. Dan Indonesia sendiri, justru dikenal sebagai penghasil ganja. Hal inilah yang kemudian menguatkan opini bahwa Indonesia bukan lagi sebagai daerah transit narkoba melainkan juga sebagai produsen dari narkoba itu sendiri.


2.2 PENYELESAIAN DAN PENEGAKAN HUKUM BAGI TERSANGKA KASUS NARKOBA YANG MELIBATKAN PARA WNA
            Dalam pembahasan mengenai penegakan hukum dan penyelesaian kasus penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, penulis akan membaginya menjadi 2 sub pembahasan dengan tujuan untuk memberikan suatu pembahasan yang lebih spesifik mengenai penegakan hukum dan penyelesaian kasus penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

2.2.1 Pola “bermain” dalam penegakan hukum bagi tersangka kasus narkoba yang melibatkan para WNA
            Memberantas peredaran narkoba di Bali dan Indonesia sudah menjadi komitmen kepolisian, BNN / BNK, dan berbagai pihak yang peduli terhadap hal ini. Namun sayangnya, setelah melalui proses hukum justru terjadi berbagai kejanggalan yang bisa sangat mengagetkan. Ini riil, nyata dan bukan rahasia umum lagi. Disparatis atau perbedaan perlakuan jatuhnya vonis sudah lazim terjadi di meja hijau. Terlebih terhadap warga negara asing yang “berkantong tebal”. Pasal mudah diatur bahkan dibelokkan ke pasal lain kalau perlu. Ini seolah sudah diatur sejak terdakwanya diproses di kepolisian. Untuk kasus narkotika golongan satu misalnya,. Meski nyata-nyata tertangkap tangan, sejak di polisi sudah disetel. Misalnya dengan memasang “pasal-pasal karet” atau pasal-pasal lentur untuk rekayasa. Kalau di jaksa dikenal dengan pasal dakwaan primer, subsider dan lebih subsider. Posisi pasal bisa dibolak-balik, digonta-ganti, sekehendak hati.
Hal ini bila tidak ditindak lanjuti jelas akan menjadi suatu boomerang bagi citra penegak hukum di Indonesia. Maka dari itulah penulis berpikir perlu untuk membahas mengenai hal ini untuk menginformasikan mengenai modus serta peluang – peluang permainan dalam penyelesaian kasus narkoba.

PELUANG dan MODUS “ BERMAIN” Kasus NARKOBA*
Di Lembaga Kepolisian
Mengubah cerita kejadian
Mengubah barang bukti
Bermain pasal-pasal (misalnya dari pengedar, jadi pemakai. Juga positif pemakai jadi negative dan sebagainya)
Mengatur pemilihan pengacara agar bisa diajak “bermain”


Di Lembaga Kejaksaan
Bermain pasal-pasal
Berkomplot dengan pengacara untuk mengatur putusan
Mengatur lobi persidangan, pembuktian pasal, memunculkan surat dokter dengan pengacara dan hakim.
Negosiasi tuntutan (biasanya kasus yang kurang menjadi sorotan public, dengan terdakwa “basah”)


Di Lembaga Kehakiman
Membelokkan pembuktian (Misalnya dari pengedar jadi pemakai)
Jual beli vonis hukuman


Di Lingkungan Lapas
Lewat pemberian remisi besar (HUT kemerdekaan dan hari besar)
Kongkalikong transaksi jual-beli narkoba dari balik bui.

* Sumber : Radar Bali 24/09/2007

2.2.2 Pemberian hukum mati bagi tersangka kasus narkoba yang melibatkan
para WNA
            Selama ini, hukuman mati memang kerap dijadikan sebagai pilihan terakhir dalam memvonis suatu kasus, baik itu pidana dan termasuk dalam kasus narkoba itu sendiri. Sebenarnya layakkah seorang terdakwa kasus narkoba mendapatkan hukumn mati? Dan mampukah hukuman mati ini memberikan efek jera bagi para pelakunya? Hal ini memang masih menjadi pertanyaan tersendiri di kalangan penegak hukum. Namun jika dilihat kembali dalam putusan MK beberapa waktu lalu, hukuman mati memang disahkan oleh MK.
Lantaran terikat dengan konvensi internasional tentang narkotika, Indonesia tetap memberlakukan hukuman mati. MK dalam putusannya,  menyatakan bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan. Menurut Mahkamah,  hak asasi yang dijamin pasal 28A hingga 28I UUD 1945 sudah dikunci oleh pasal 28J yang berfungsi sebagai batasan. Hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen Undang-Undang.
Alasan pertimbangan putusan salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia justru berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. Dalam konvensi itu, Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati.
Dengan menerapkan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK menegaskan, pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.
Kemudian yang menjadi permasalahan, mampukan hukuman mati ini memberi efek jera bagi para pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika? Hal ini sepenuhnya tidak dapat dijawab, mengingat selama ini sudah banyak pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yang dieksekusi dan menunggu eksekusi, namun peredaran dan jumlah pelaku yang tertangkap justru semakin banyak. Bukan bermaksud mengurangi efek jera dari hukuman mati ini, tapi memang itulah kenyataannya. Namun bagaimana pun juga, hukuman mati memang hukuman yang paling berat yang layak untuk dijatuhkan bagi para pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.
Disamping hukuman mati, pemerintah dan segenap penegak hukum masih mempunyai suatu alternatif yakni pencegahan masuknya narkoba melalui pintu – pintu masuk Indonesia, misalnya Bandara, pelabuhan, dan daerah perbatasan lainya. Untuk hal ini, jelas peran dari petugas keamanan pelabuhan, bea cukai serta polisi perbatasan  untuk berperan lebih efektif dalam mencegah peredaran gelap narkoba ke Indonesia, disamping pembenahan fasilitas seperti X-Ray di bandara dan fasilitas security lainnya 














BAB III
PENUTUP
            Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah serta pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1)      Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan dari peredaran gelap narkoba dan sebagai sumber (lokasi produksi) narkoba, yang mana hal ini didukung oleh letak geografis serta mudahnya akses dan luasnya jaringan yang dimiliki oleh para pengedar narkoba asing.
2)      Dalam praktek penegakan hukum khususnya penyelesaian kasus penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, masih banyak ditemui hal – hal ditengarai sebagai ”permainan” dari beberapa oknum tertentu. Disamping itu, penerapan hukuman mati merupakan hal yang paling efektif untuk memberikan efek jera bagi para pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.







            Saran – saran
Pada akhir penulisan ini penulis ingin menyampaikan saran kepada
1)      Seluruh pembaca agar senantiasa dapat meningkatkan pemahaman tentang tindak pidana narkotika dan psikotropika sehingga segala perkembangan mengenai hal ini dapat diketahui dan berguna dalam upaya pengembangan strategis pencegahan peredaran gelap narkoba
2)      Kepada pihak Universitas terutama Dosen mata kuliah tindak pidana narkotika dan psikotropika agar dapat lebih “mengantarkan” mahasiswa memahami perkembangan mata kuliah ini, karena kami menyadari pemahaman kami masih belum begitu mendalam.













DAFTAR PUSTAKA

id.wikipedia.org/wiki/narkotika




 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons