Oleh I Komang Edy Mulyawan
Tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan perpolitikan kita saat ini sedang berada pada tingkat yang cukup meresahkan. Baik sistem maupun praktisi politik kita belum dapat mewujudkan sebuah politik yang santun dan beretika bagi masyarakat. Padahal hal tersebut merupakan modal utama untuk melakukan sebuah pembelajaran politik bagi masyarakat umum
Partai politik yang seharusnya berperan juga belum dapat melaksanakan fungsinya secara maksimal. Dan ironisnya, dalam partai politik justru menjadi awal berkembangnya pola pikir pragmatis yang dimaksud. Partai politik sesungguhnya merupakan arena bagi setiap individu untuk mendapat sebuah pembelajaran politik, baik itu dari level akar rumput, kepengurusan, maupun sebagai pejabat pemerintahan. Namun sekali lagi, semua itu justru “tercemar” oleh sebuah pola pikir pragmatis.
Salah satu contoh nyata berkembangnya pola pikir ini adalah bagaimana perekrutan dalam kebanyakan partai politik saat ini. Orang yang sebelumnya bukan merupakan kader partai justru bisa menempati posisi strategis di kepengurusan partai, dan semua itu hanya dikarenakan orang tersebut memiliki sesuatu yang “lebih” yakni kantong yang lebih tebal, dan lebih bisa membantu membiayai kegiatan partai. Hal ini justru mengesampingkan bagaimana perjuangan kader – kader pendahulu yang sebelumnya berjuang membesarkan partai.
Pola pikir semacam ini pun kemudian terjadi pada proses pemilu khususnya pilkada. Tidak jarang partai hanya menempatkan dirinya sebagai kendaraan politik bagi orang – orang berduit yang ingin mencari peruntungan sebagai pejabat pemerintah. Hanya beberapa partai yang biasanya “mau” menempatkan kader – kadernya sebagai bagian dari perhelatan sebuah pilkada. Tidak dapat disalahkan memang, karena terkadang, kepentingan untuk menjaring konstituen oleh figur non kader lebih diutamakan dibanding memberdayakan kader partai yang sudah ada sebelumnya.
Banyak partai merekrut calon dalam pilkada tidak di antara kadernya, melainkan dari luar seperti dari tokoh masyarakat, pengusaha atau birokrasi. Mereka dapat menjadi kandidat secara instan. Bila tujuannya adalah kesuksesan di Pilkada maka hal tersebut tidak sepenuhnya salah, namun strategi itu dapat menimbulkan kekecewaan bagi kader partai yang merasa diabaikan. Selain itu perlu ditekankan bahwa pola pikir seperti itu menjadikan sang kandidat tidak mempunyai ikatan yang erat dengan partai dan bisa saja kurang setia terhadap partai.
Lalu apa dampak pola pikir ini kedepannya? Partai politik maupun masyarakat hendaknya menyadari bahwa pola pikir pragmatis dalam politik justru akan berdampak pada pola pikir masyarakat itu sendiri. Dengan motivasi yang instan, masyarakat akan lebih cenderung menjadi money oriented dalam menghadapi sebuah perhelatan pilkada. Masyarakat tidak lagi menghargai sebuah proses karena orientasi utamanya adalah bagaimana pilkada memberikan keuntungan yang instan. Dan lebih parahnya lagi nilai demokrasi dan idealisme serta cita – cita partai yang telah dibangun sebelumnya, akan tergerus oleh pola pikir semacam itu.
Mau tidak mau partai politik sangat memegang peran dalam hal ini. Hanya ada dua pilihan, pilihan pertama adalah menjadikan pilkada sebagai proses pembelajaran dan pendidikan politik yang santun dan beretika bagi masyarakat, atau justru terus mengembangkan budaya dan pola pikir pragmatis yang nantinya akan berdampak buruk pada pandangan dan pola pikir masyarakat tentang politik.
*penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum di salah satu Perguruan tinggi swasta di Denpasar.