Pelaksanaan Reformasi Birokrasi dalam upaya mewujudkan Optimalisasi Pelayanan Publik dan Pemerintahan Yang Baik

Sesuai dengan tuntutan reformasi, pelaksanaan pelayanan publik yang lebih baik seolah menjadi tuntutan dalam pemerintahan saat ini. Masyarakat yang selama ini begitu tergantung pada pelayanan dari eksekutif selaku organ pemerintahan menjadi objek yang senantiasa harus selalu diperhatikan karena mulai dari kelahiran sampai kematiaanya, masyarakat selalu berkaitan dengan pelayanan public terutama yang menyangkut administrasi.

Selama ini, reformasi birokrasi hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan – tujuan politik, sehingga banyak menyimpang dari makna yang sebenarnya. Reformasi birokrasi yang selalu hangat dalam janji – janji politik tidak dapat dijalankan secara optimal dan akhirnya berdampak pula pada pelayanan publik itu sendiri.

Reformasi sesungguhnya merupakan sebuah proses yang harus senantiasa dilakukan secara bertahap dan sistematis sehingga setiap pelaksanaanya harus memiliki pemetaan dan skala prioritas yang jelas dan tetap terintegrasi satu sama lain. Selain itu, reformasi hendaknya selalu identik dengan kata perubahan, sehingga arah perubahan yang dimaksud dapat  terlihat jelas dan akuntabel.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah bagaimana agar perubahan yang dimaksud dapat bersifat mendasar dan tidak hanya menyentuh gejala permasalahan yang dialami dalam proses pelayanan public sehingga tatanan birokrasi benar – benar dalam sebuah budaya melayani terutama pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat.

Berbekal dari pandangan tersebut, masih banyak kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia.Pelaksanaan reformasi yang menjadi prioritas dalam peningkatan kualitas pelayanan publik agar senantiasa dapat dioptimalkan sehingga indikator yang ada dapat dilihat secara jelas.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya adalah suatu proses transformasi mindset dan culture set yang terarah pada tatanan birokrasi yang efektif dan efisien sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal kepada masyarakat. Dan hal tersebut sesungguhnya membutuhkan proses yang panjang mengingat reformasi birokrasi hendaknya dapat dilakukan secara bertahap dan sistematis.
Dalam pelaksanaannya,masih begitu banyak kendala yang dihadapi proses reformasi birokrasi saat ini. Semua itu dikarenakan masih takutnya pemerintah dalam mengambil dan menanggung resiko yang nantinya merupakan dampak atau konsekuensi atas reformasi birokrasi itu sendiri. Reformasi birokrasi sesungguhnya memang sesuatu yang cukup sensitif dan beresiko karena menyangkut masalah kebiasaan, aparatur dan sistem kerja dalam pelayanan.
Berdasarakan hal tersebut, terdapat bebarapa hambatan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi saat ini yaitu :
1. Sulitnya menerapkan dimensi cultural dalam reformasi birokrasi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pada hakekatnya reformasi adalah melakukan suatu perubahan yang mendasar terhadap nilai – nilai, kebiasan serta budaya – budaya yang telah berkembang dalam perjalanan birokrasi selama ini. Oleh karena itu, dalam melakukan reformasi birokrasi harus diterapkan suatu dimensi reformasi yang mampu menyelesaikan masalah dan bukan hanya menyentuh gejala permasalahan yang ada, yang justru akan menimbulkan masalah baru nantinya.
Reformasi birokrasi tidak dapat terlaksana secara optimal karena belum menyentuh hal yang paling mendasar yaitu “kultur”. Selama ini reformasi birokrasi hanya menyangkut hal – hal yang menyangkut kelembagaan, tata laksana, serta sumber daya manusia yang masih terbatas pada tataran pendidikan dan pelatihan.
Sebuah kultur atau budaya birokrasi dapat dipandang sebagai produk pengalaman antara nalar dan emosi. Kultur birokrasi hanya dapat tumbuh karena orang mengalami realitas pemerintah birokratis. Pengalaman inilah yang melahirkan seperangkat komitmen emosional yang tanpa disadari membentuk gagasan – gagasan serta sikap model mentalitas birokrat sejati.
Penerapan dimensi cultural tetap merupakan hal yang sulit karena mengandung tiga elemen utama yaitu mengubah keniasaan, meyentuh perasaan dan mengubah pola pikir. Kebiasaan menjadi suatu hal yang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi karena hampir sebagian besar organisasi pemerintah memiliki karakter fundamental yang sama yang membentuk kultur mereka. Selain itu, perlu disadari pula bahwa sangat sulit untuk mencoba meyakinkan pegawai untuk melepas komimen lamanya dan mengembangkan seperangkat omitmen yang baru dan berbeda karena ini menyangakut hal yang bersifat pribadi.
Penerapan dimensi cultural memiliki dampak pada tiap pendekatan yang dilaksanakan, akan tetapi dimensi mengubah kebiasaan menjadi hal yang paling sulit dilakukan. Padahal mengubah kebiasaan seseorang akan lebih mudah menghentikan ikatan emosianal negative yang pernah ada dan merupakan langkah awal untuk merubah kultur birokrasi.

2. Upaya pembenahan organisasi dan pembinaan SDM yang masih belum optimal.
Kebutuhan aparat yang kompeten dan professional menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan dalam proses reformasi birokrasi saat ini. Perlu disadari bahwa birokrasi pemerintahan sebagai instrument teknis penyelenggaraan kebijakan memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam menentukan efektivitas kebijakan, yang seluruhnya sangat ditentukan oleh aparat yang dilibatkan.
Birokrasi pemerintahan atau aparatur pemerintahan dominan, dipengaruhi oleh kemampuan dan etika moral aparat yang keberadaaanya dikaitkan dengan tertib administrasi pelayanan intern maupun ekstern dengan mengesampingkan penonjolan kekuasaan dan kepentingan pribadi pada aktivitas para aparatur birokrasi. Dalam hal ini satu hal yang juga menjadi suatu hambatan dalam proses reformasi birokrasi adalah bagaimana mempersiapkan SDM yang memang memiliki kompetensi yang mampu memberikan pelayanan publik secacra maksimal. Hal tersebut memiliki keterkaitan dengan proses rekruitmen para pegawai yang dari awal memang sudah menuai berbagai kontroversi misalnya cara perekrutan yang kurang transparan, maraknya isu penjualan nilai test dan isu – isu lain yang sesungguhnya sangat berpengaruh pada pelayanan yang akan diberikan setelah pegawai itu bertugas.

3. Keterbatasan kemampuan keuangan negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi birokrasi membutuhkan pendanaan yang cukup untuk mendukung setiap kebijakan yang diambil baik itu melalui reformasi kelembagaan, tata laksana, maupun sumber daya manusia. Masalah sumber daya manusia menjadi hal yang sensitive dengan hambatan ini karena berbicara masalah pegawai, terkait pula dengan kesejahteraan pegawai itu sendiri.
Manajemen reward and punishment memang menjadi dasar bagi pemerintah memberikan suatu “dorongan” dan motivasi para pegawai dan aparatur untuk meningkatan kinerjanya dalam upaya mengoptimalkan pelayanan publik. Namun sayangnya, belum semua pegawai dapat ditingkatkan kesejahteraannya, mengingat pendanaan negara yang belum dapat mencakup keseluruhan pegawai yang ada.
Di lain pihak, ada pula pihak yang berpendapat bahwa dengan hanya menaikkan gaji para pegawai yang selama ini seudah berlaku, tidak serta merta membawa dampak yang positif bagi kenerja birokrat yang ada. Namun sebagai sebuah upaya yang dapat dicoba, pemerintah hendaknya dapat menggunakan kewenangannya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan para pegawai sehingga dapat mencegah perilaku korup dan meningkatkan kinerja para pegawai.

4. Masih banyaknya pandangan negative tentang birokrasi.
Birokrasi memang telah menjadi sebuah hal yang begitu dipandang negative oleh masyarakat, perilaku korup, suka menunda pekerjaan, kurangnya deskripsi pekerjaan yang dimiliki para pegawai, serta tingkat disiplin yang minim, menjadikan aparatur birokrasi “terlanjur” buruk di mata masyarakat.
Maka dari itu, saat upaya reformasi birokrasi muncul, banyak masyarakat yang memandang sebelah mata. Tidak jarang ketika para aparat sudah mencoba melakukan hal yang “benar” dan sesuai peraturan, perilaku buruk justru muncul dari masyarakat. Contoh kecil adalah saat masyarakat menggunakan uang pelicin untuk mempercepat administrasi yang dimilikinya, atau dalam hal perijinan. Perilaku dan pandangan negative inilah yang juga perlu dibenahi masyarakat kita.
Masyarakat juga memegang peranan penting dalam pelaksanaan reformasi birokrasi kedepannya. Sebagai bagian dari proses birokrasi, masyarakat hendaknya dapat menciptakan suatu suasana yang kondusif dalam upaya peningkatan kualitas kinerja para pegawai sehingga nantinya tujuan dan maksud yang ingin dicapai melalui reformasi birokrasi dapat terwujud dengan baik.


2.2. Indikator keberhasilan reformasi birokrasi.

Secara umum, terdapat dua indikator yang dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan suatu reformasi birokrasi yaitu :

1. Indikator keberhasilan reformasi birokrasi secara makro :
a. Menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran
b. Meningkatnya efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan sumber daya
c. Menurunnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
d. Meningkatnya tingkat kepercyaan masyarakat terhadap pemerintah.

2. Indikator keberhasilan reformasi birokrasi internal :
a. Berakhirnya perilaku koruptif oleh para pegawai / aparat birokrasi
b. Berakhirnya bentuk – bentuk pengangguran terselubung, yakni kebiasaan kerja para pegawai yang tidak disiplin terutama pada jam masuk dan jam pulang kerja.
c. Sesuainya tingkat kesejahteraan dengan hasil kerja yang dilaksanakan, yakni melalui sistem equal work for equal pay
d. Berakhirnya pandangan suka dan tidak suka (like and dislike) terutama antara atasan dan bawahan dala tingkatan dan hirarki birokrasi.
e. Berakhirnya ketidakadilan (unjustice) dalam proses birokrasi, sehingga reward dan punishment dapat dijalankan dengan baik.
Seluruh pemamtauan dan evaluasi atas indikator tersebut dapat dilakukan oleh pihak – pihak yang memang memiliki kompetensi untuk melakukan hal tersebut, diantaranya :
1. Aparat pengawasan internal dan oleh tim independen.
2. Pembentukan unit monitoring dan pengawasan di setiap lembaga atau departemen.
3. Pelaporan oleh setiap tim reformasi birokrasi di setiap departemen atau lembaga sehingga proses evaluasi dapat berjalan secara maksimal

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Johanes. 2010. Reformasi Birokrasi : Perspektif Dimensi Kultural. Makalah dalam Seminar nasional PERSADI Bali. 27 Januari 2010.

Rewansyah, Asmawi. 2010. Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance. Makalah dalam Seminar nasional PERSADI Bali. 27 Januari 2010

Subanda, Nyoman. 2010. Reformasi Birokrasi Dalam Upaya Optimalisasi Pelayanan Publik. Makalah dalam Seminar nasional PERSADI Bali. 27 Januari 2010.

Suryono, Agus. Budaya Birokrasi Pelayanan Publik. Dalam http://publikbrawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/7budaya%20birokrasi%20pelayanan%20publik-agus%20Suryono.pdf tanggal 20 Januari 2010

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons