Pemberian Grasi dan Remisi bagi Koruptor : Pelaksanaan Aturan Hukum yang "terkadang" Sarat Kepentingan Politis

Kebijakan Pemerintah untuk memberikan grasi serta remisi bagi para terpidana korupsi benar- benar menuai pro kontra di masyarakat. Peringatan 17 Agustus kemarin telah menjadi moment yang disesalkan oleh jutaan rakyat Indonesia yang sebagian besar "tertindas" oleh maraknya kasus - kasus korupsi di Indonesia. Penyesalan bukan saja karena pembebasan atau pengurangan masa tahanan tapi secara tidak langsung juga berdampak pada pelemahan upaya pemberantasan kasus korupsi di Indonesia. Belum hilang dari ingatan, "janji pemberantasan korupsi" yang dijadikan skala prioritas dalam program pemerintah sejak beberapa bulan yang lalu. Kontradiktif, Kemunduran, atau Inkonsistensi? Silakan anda yang menilai...

Grasi dan Remisi sebagai "Hak" terpidana.
Secara normatif, pemberian grasi dan remisi merupakan hal yang wajar dan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden Republik Indonesia berhak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 1). Grasi adalah salah satu dari empat hak Presiden Indonesia di bidang yudikatif. Grasi adalah Hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan pembebasan hukuman sama sekali. Sebagai contoh yaitu mereka yang pernah mendapat hukuman mati dikurangi menjadi hukuman penjara seumur hidup.. Sedangkan remisi merupakan pengurangan masa hukuman bagi seorang terpidana yang didasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.. Aturan pemberian remisi tercantum dalam PP No 28 tahun 2006 tentang perubahan atas PP No 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah ini merupakan turunan dari UU No 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.

Kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi
Beberapa kalangan menilai bahwa pemberian grasi maupun remisi bagi koruptor merupakan sebuiah langkah mundur dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Pernahkah terbayangkan berapa lama usaha maupun perjuangan aparat penegak hukum terutama KPK dalam menguak kasus-kasus korupsi terutama yang melibatkan pejabat negara. Semua itu seolah terabaikan oleh pemberian grasi dan remisi yang "diobral" secara besar-besaran. Pemerintah juga harus memperhatikan efek jera bagi para pelaku korupsi, jangan sampai setelah divonis, para terpidana justru memperoleh keringanan bahkan bisa menghirup udara bebas. Dengan pemberian grasi dan remisi, pemerintah seolah bersikap mementingkan aspek kemanusiaan bagi koruptor daripada aspek kemanusiaan untuk masyarakat umum. Korupsi merupakan bentuk kejahatan melawan kemanusiaan, lalu kenapa pemerintah dengan mudah memberikan remisi terhadap para terpidana korupsi. Kalau pemberian itu karena alasan aspek kemanusiaan, bagaimana pandangan pemerintah terhadap aspek kemanusiaan untuk masyarakat. Jadi, secara umum pemberian remisi maupun grasi terhadap koruptor merupakan sesuatu bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia yang justru tengah digalakkan pemerintah.

Perlunya Pengkajian syarat pemberian grasi dan remisi bagi terpidana korupsi.
Sebagai salah satu kejahatan "luar biasa", korupsi tentu harus dibarengi dengan aturan yang "luar biasa" tidak hanya mengenai jumlah hukuman yang akan dijatuhkan bagi para pelaku korupsi melainkan juga menyangkut syarat pemberian grasi dan remisi bagi para terpidana. Payung hukum pemberian ampunan (grasi) dan pengurangan hukuman (remisi) perlu dievaluasi ulang sehingga para terpidana korupsi tidak mudah untuk mendapatkan "diskon" atas vonis hukuman yang diterimanya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan terutama pasal 34 ayat (3) disebutkan bahwa "narapidana yang masuk kategori tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan yakni berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana". Pasal inilah yang harus segera dikaji agar tidak lagi terjadi "diskon" besar-besaran bagi para terpidana korupsi.

Apapun alasan pemerintah memberikan grasi dan remisi bagi para terpidana korupsi dalam peringatan 17 Agustus kemarin harus disikapi secara wajar. Jangan sampai pro kontra yang timbul di masyarakat hanya didasarkan atas kebencian atau sekedar mencari-cari kesalahan. Yang terpenting saat ini adalah adanya transparansi dalam pemberian grasi, remisi, maupun hak prerogatif lain yang dimiliki pemerintah terutama Presiden. Masyarakat harus diberikan akses untuk mendapatkan informasi kenapa seorang terpidana mendapatkan remisi atau grasi. Pemerintah harus dapat menjelaskan alasan-alasannya. Selama ini masyarakat hanya "diberi tahu" setelah adanya surat keputusan resmi terkait dengan pemberian remisi dan grasi tersebut. Selain itu, Transparansi yang dimaksud dapat dilihat dari kejelasan definisi aturan dan proses pemberian sehingga grasi dan remisi yang kerap ditumpangi kepentingan politis dan suap dapat diminimalisir.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons