KALAU
polisi tak mampu membersihkan diri dari korupsi, jangan berharap merebut
simpati publik. Hal ini perlu dikemukakan karena Kepolisian Republik Indonesia
seolah tak berubah kendati era reformasi sudah berusia lebih dari sepuluh
tahun. Yang sedikit menunjukkan kemajuan adalah kesigapan menangani kasus,
melayani perizinan, dan menjaga ketenteraman. Tapi polisi belum memenuhi
dambaan masyarakat ini: memberantas korupsi di tubuhnya.
Sebagian
khalayak tahu persis gaya hidup petinggi polisi, termasuk bagaimana megahnya
rumah mereka. Itu sebabnya orang tak terlalu kaget mendengar kabar tentang
sejumlah pejabat polisi yang mempunyai rekening dengan jumlah fantastis.
Dari
penelusuran majalah ini, terungkap sejumlah petinggi polisi yang biasa menerima
duit satu-dua miliar rupiah dalam sehari. Ada seorang jenderal yang diguyur Rp
10 miliar dalam sekali transfer. Bahkan ada perwira yang menyimpan duit Rp 54
miliar. Deretan rekening janggal ini sebetulnya termasuk dalam 21 rekening
jumbo perwira polisi yang mencuat sejak bulan lalu, tapi rincian transaksinya
baru belakangan terendus.
Mengintip gaji
resmi perwira yang tak mencapai Rp 10 juta setiap bulan, sulit dipercaya duit
diperoleh secara halal. Sudah jadi rahasia umum, makelar kasus bergentayangan
di institusi penegak hukum, tak terkecuali kepolisian. Dengan segepok duit,
mereka siap menggoda polisi untuk menyalahgunakan wewenang, tentu demi
kepentingan klien si makelar. Apalagi lahan yang dikuasai polisi amat luas:
dari korupsi, pencucian uang, pembalakan liar, penyelundupan, sampai urusan
video porno.
Kepala
Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri mestinya tidak ragu mengusut
pemilik rekening yang mencurigakan. Tidaklah terlalu penting meributkan motif
di balik beredarnya data itu, misalnya berkaitan dengan persaingan para
jenderal kepolisian. Kalaupun motif persaingan benar, itu tak mengubah
kewajiban polisi menelusurinya. Apalagi pada 2005 telah beredar pula data
rekening 15 perwira polisi yang mencurigakan, tapi sampai kini tak pernah
ditelisik. Padahal, seperti temuan terbaru, hasil analisis Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan itu juga telah dilaporkan ke Markas Besar Polri.
Tak cukup ditangani
oleh Divisi Profesi dan Pengamanan, pejabat polisi pemilik rekening yang
janggal mesti diproses secara hukum. Mereka bisa dijerat dengan Undang-Undang
Nomor 15
Tahun 2002
tentang Pencucian Uang-kemudian disempurnakan lewat UU Nomor 25/2003. Untuk memulai
pemeriksaan, sesuai dengan undang-undang ini, penyidik tidak perlu membuktikan
dulu bahwa harta itu hasil kejahatan. Bahkan penyidik berwenang pula untuk
secepatnya memblokir rekening yang mencurigakan.
Dalih yang
kerap dilontarkan bahwa kasus rekening janggal tak bisa dijerat lewat delik
pencucian uang tidaklah masuk akal. Sebab, polisi sendiri sudah menjaring
banyak orang lewat aturan yang sama. Gayus Tambunan, bekas pegawai pajak, yang
memiliki harta lebih dari Rp 100 miliar, dijerat dengan UU Pencucian Uang.
Begitu pula Bahasyim, bekas pejabat Direktorat Pajak, pemilik uang Rp 64 miliar
yang disimpan di rekening anak-istrinya.
Harus diakui,
pasal pencucian uang sulit menjebloskan orang ke penjara karena semata-mata
memiliki rekening tak wajar. Sebab, hukum kita belum menganut asas pembalikan
beban pembuktian-selama ini dikenal dengan istilah “pembuktian terbalik”. Tapi
setidaknya, dengan delik ini, rekening yang mencurigakan bisa diblokir lebih
dulu sambil menelisik kejahatan yang menjadi hulu aliran duit. Cara ini
diberlakukan pula terhadap Gayus dan Bahasyim. Mereka akhirnya dikenai pasal
berlapis, bukan hanya pencucian uang, melainkan juga korupsi.
Jika polisi
enggan menerapkan delik pencucian uang untuk dirinya sendiri, tidaklah mungkin
penegak hukum lain, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, turun tangan. Sesuai
dengan undang-undang, hanya polisilah yang berwenang menyidik urusan ini. Tapi
itu bukan berarti KPK tidak bisa menggunakan temuan rekening mencurigakan
sebagai bahan untuk mengusut korupsi.
Tidak
tersentuhnya kasus rekening janggal selama ini bukan karena aturan hukum kita
terlalu lemah, melainkan karena tak ada kemauan untuk menelisiknya. Dalam
situasi seperti ini, publik hanya bisa mengharapkan ketegasan sikap Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Bila Presiden memerintahkan kasus ini dibongkar,
sulit membayangkan Kapolri akan diam saja.
Bila kepolisian
menghadapi kendala membersihkan korpsnya sendiri, toh masih ada pilihan lain,
yakni memberikan jalan bagi KPK untuk mengambil alih, terutama untuk kasus yang
telah jelas unsur korupsinya.
Pengusutan
rekening jumbo petinggi kepolisian tak bisa ditunda lagi. Sikap menutup mata
terhadap rekening yang patut diduga berasal dari hasil kejahatan itu akan
membuat citra polisi semakin babak-belur.
(Study Kasus Tempo Edisi 28 Juni)