Bisnis Reklamasi Pantai Indonesia

Sebuah tulisan menarik oleh Restu Putri Astuti...

Reklamasi pantai bukanlah hal baru bagi Indonesia. Bisnis reklamasi pantai merupakan salah satu bisnis properti bernilai jual tinggi. Seperti yang kita tahu, banyak wilayah kota Pesisir di Indonesia menjelma menjadi konsep “Water Front City“.

images

Kesekian proyek tersebut, pada akhirnya tidak mampu mengimplementasikan sesuai perencanaan. Faktanya, Gubernur Bali Made Mangku Pastika mencabut Surat Keputusan Reklamasi Teluk Benoa (antaranews.com, agustus 2013) dan diperkuat oleh hasil studi kelayakan oleh LPPM Universitas Udayana bahwa proyek tersebut tidak layak dilanjutkan karena akan mengorbankan aspek ekonomi, budaya, dan kelestarian alam (republika.co.id, September 2013).

Sebelum membahas lebih jauh tentang reklamasi, terlebih dahulu apa sih makna dari reklamasi itu sendiri. Menurut UU 27 Tahun 2007, Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan yang ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.

Reklamasi yang dilakukan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, seperti pertambahan penduduk dan pertumbuhan perekonomian yang kebutuhannya terhadap lahan semakin meningkat serta untuk mewujudkan fungsi Kawasan Pantai sebagai kawasan andalan pariwisata. Contoh kawasan yang menjadi reklamasi seperti anjungan Pantai Losari, Pantai Kamali Bau-Bau, Kawasan Pantai Indah Kapuk Jakarta Utara, Semarang, dan yang terbaru akan dibangun di Balikpapan.

Selama ini nampaknya reklamasi pantai hanya sebagai “bisnis bancakan” elite pengembang properti untuk mendirikan berbagai bangunan dan hiburan yang diembel-embeli akan meningkatkan prestise dan perekonomian daerah. Tapi apakah kita tidak pernah berpikir tentang dampak dari reklamasi pantai itu sendiri?

Reklamasi akan melahirkan perubahan ekosistem seperti perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi pantai, dan berpotensi menimbulkan gangguan pada lingkungan. Peralihan fungsi menyebabkan kehancuran ekosistem berupa hilangnya keanekaragaman hayati, yaitu padang lamun dan terumbu karang di kawasan reklamasi tersebut, yang menyebabkan mangrove makin terkikis dan hilangnya habitat bagi berbagai biota yang menjadi mata pencaharian bagi masyarakat pesisir.

Undang-undang No. 27 tahun 2007 pada pasal 34 menjelaskan bahwa reklamasi hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan biaya ekonominya. Pelaksanaan reklamasi tidak bisa sembrono. Reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan beberapa hal seperti a) keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat; b) keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan pesisir; serta c) persyaratan teknis pengambilan, pengerukan dan penimbunan material. Nah apakah selama ini reklamasi pantai menghasilkan manfaat yang sesuai dengan undang - undang?

Bukankah mengembalikan ekosistem seperti semula malah mengorbankan waktu dan uang lebih banyak dibandingkan dengan hasil yang diterima? Salah satu contoh, hasil penelitian Jaya dkk. (2012) dengan judul Kajian Kondisi Lingkungan dan Perubahan Sosial Ekonomi Reklamasi Pantai Losari dan Tanjung Bunga menunjukkan perubahan lingkungan terutama kategori baku mutu perairan di Pantai Losari telah melampaui standar baku untuk air laut tercemar setelah reklamasi Pantai Losari.

Tidak ada perubahan pada kondisi sosial ekonomi berupa pendapatan masyarakat, tetapi hanya berdampak positif pada harga tanah yang semakin makin meningkat. Malah nelayan tradisional di Kecamatan Ujung Tanah dan Mariso termasuk masyarakat pesisir miskin di Kota Makassar. Mana buktinya jika reklamasi memberikan dampak ekonomi? Nasi sudah menjadi bubur!

Bahkan Pusat Data dan Informasi KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) (Juni, 2013) menyebutkan bahwa proyek reklamasi tengah yang dilakukan di 22 kabupaten/kota di Indonesia menggusur 18.151 KK nelayan tradisional. Hal inilah yang mencerminkan kegagalan pembangunan yang malah memberikan dampak bagi masyarakat kecil baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Di samping itu, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil jelas bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/VPUU-VIII/2010 tentang pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil terhadap UUD 1945 yang menegaskan pelarangan praktek pengaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lha kok dilanggar?

Sumber : Edukasi.Kompasiana

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons