Sepuluh tahun yang lalu saat saya mulai masih duduk di kursi SMA, namanya memang belum terlalu akrab. Hanya samar-samar terdengar di televisi. Tugasnya sebagai juru bicara kepresidenan memang cukup sering mengisi layar kaca, terlebih kala itu adalah masa awal kepemimpinan SBY.
Dino Patti Djalal (menggunakan udeng) saat Konvensi Partai Demokrat di Bali
Kala itu saya memang belum melek politik seperti sekarang ini, sehingga tidak banyak yang dapat digali tentang sosok seorang Dino Patti Djalal. Ketertarikan saya untuk mengamati dan mencari tahu latar belakang seorang Dino Patti Djalal justru muncul saat beliau mulai menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Itu pun masih belum maksimal.
Di mata saya, menjadi seorang Duta besar memang sebuah hal yang ‘’wah” . Terlebih di negara sebesar Amerika Serikat. Kemampuan diplomasi dan komunikasi Internasional tentu merupakan sebuah syarat mutlak. Dan Dino Patti Djalal telah berhasil mencapai posisi itu.
Hal menarik yang dapat dipetik dari seorang diplomat adalah menjadi perwakilan pertama kita di negeri orang. Menjaga nama baik dan harga diri bangsa juga sebuah kewajiban. Namun dalam membangun pemikiran, menjadi diplomat juga berarti membandingkan berbagai sistem pemerintahan, ideologi, dan nilai-nilai nasionalisme suatu bangsa.
Lahir di sebuah keluarga diplomatik jelas bukan sebuah hal yang mudah. Menjaga idealisme sebagai seorang Indonesia “sejati”. Menggabungkan konsep pemikiran lokal dan global yang diperoleh selama menjadi diplomat dan mengenyam pendidikan di negeri orang.
Saya sepakat dengan pemikirannya, bahwa menjaga hubungan dengan orang lain menjadi poin penting dalam mencapai sukses. Menjaga integritas dan menjadi diri sendiri juga hal yang tak boleh dipinggirkan. Setidaknya, kiprahnya sejak merintis karir sebagai asisten dirjen politik, KBRI london, juru bicara dan Duta Besar sudah menggambarkan bagaimana ia mengaplikasikan pemikirannya itu.
Saya mencoba menghubungkan gagasan “Nasionalisme Unggul” dan pengalamannya di lintas negara. Bagi beliau, tentu ada banyak hal yang sudah dibandingkankan. Bagaimana Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain dan bagaimana negara lain sudah mencapai level yang jauh lebih baik dari Indonesia.
Kiprah nya di bidang politik dan gagasan kepemimpinan yang sudah dituangkannya dalam beberapa buku seperti
“Transformasi Indonesia” (2005), "Indonesia pada bergerak" (2006), "Indonesia Unggul" (2008), "Harus Bisa!" (2008) dan "Energi Positif" (2009), sudah menunjukkan bagaimana kepemimpinan dan semangat nasionalisme menjadi senjata utama yang harus ditanamkan pada generasi muda.
Menarik untuk disimak, apakah gagasan “Nasionalisme Unggul” akan berhasil menggugah semangat generasi emas Indonesia untuk meningkatkan kemampuan dan bersaing dengan negara-negara lain di dunia. Membuka mata dunia bahwa Negara ini adalah negara berprestasi yang siap berkompetisi di percaturan global. Semoga!!!