Kami tidak peduli siapa mereka atau bagaimana mereka melakukannya. Kami hanya bersikap objektif atas isu lingkungan ini. Reklamasi berkedok revitalisasi belum dibutuhkan dan kami masyarakat Bali akan tetap berjuang menolaknya...
Reklamasi Teluk Benoa menjadi tantangan besar bagi Bali saat ini. Harus diakui terdapat perang kepentingan dalam isu reklamasi. Relawan lingkungan yang bersikukuh ingin mempertahankan kelestarian alam harus berhadapan dengan tamaknya penguasa dan pengusaha.
Kekhawatiran terhadap Dampak Buruk Reklamasi Teluk Benoa
Banyak orang yang bertanya, kenapa sebagian besar masyarakat Bali begitu gencar menyuarakan gerakan tolak reklamasi Teluk Benoa? Jawabannya sederhana. "Alam adalah sebagian dari hidup kita". Banyak faktor yang membuat masyarakat begitu bergantung pada kelestarian perairan Teluk Benoa.
Saat rencana reklamasi berkedok revitalisasi teluk ini mulai muncul, sudah terpikir jauh apa yang akan terjadi seandainya itu benar-benar terealisasi. Mengapa masyarakat harus begitu takut?
Reklamasi akan merusak fungsi dan nilai konservasi kawasan perairan Teluk Benoa, misalnya sebagai daerah resapan banjir,nilai kesucian, dan kawasan ekosistem. Bagaimana mangrove di teluk benoa akan menjadi kenangan. Atau bagaimana ekosistem laut akan tertanam dalam tumpukan tanah reklamasi.
Belum lagi potensi abrasi pesisir pantai di daerah lain di Bali. Sebut saja pantai Watu Klotok di Klungkung atau pantai Lebih di Gianyar. Daerah pesisir itu diprediksi akan mengalami dampak buruk akibat tidak seimbangnya arus laut pasca reklamasi.
Dari data yang dikeluarkan oleh Badan Lingkungan Hidup Bali, 48 pantai di Bali kini mengalami erosi akut, dalam sepuluh tahun terakhir 181.7 kilometer tanah di pesisir telah hilang, dan ini adalah sekitar 41.5% dari keseluruhan panjang garis pantai di Bali.
Jika saja reklamasi Teluk Benoa diberikan izin, dikhawatirkan hal itu akan menjadi preseden bagi daerah lain untuk ikut mengajukan perubahan status kawasan konservasi guna kepentingan arus investasi. "Ini bisa menjadi preseden buruk bagi kawasan konservasi lainnya di Indonesia. Jadi, jangan dianggap kecil masalah, harus ditangani serius dan secepatnya” ~ Suriadi Darmoko (Direktur Eksekutif Walhi Bali)
Teluk Benoa belakangan ini mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan abrasi yang berpotensi merusak hutan mangrove. Namun sayangnya orientasi bisnis justru lebih kuat dibanding upaya membangun keseimbangan ekologis di Teluk Benoa.
http://www.youtube.com/watch?v=m62Ha35mQ-Y
Pembangunan Infrastruktur Pariwisata
Tidak dapat dipungkiri apabila ternyata pariwisata menjadi alasan reklamasi ini. Kalau boleh jujur, daerah selatan Bali sudah cukup jenuh dengan infrastruktur pariwisata. Pembangunan sudah tidak merata.Saya secara pribadi akan lebih setuju apabila investasi yang masuk diarahkan ke bagian utara, timur dan barat Bali. Masih banyak potensi yang bisa dikembangkan, termasuk perihal revitalisasi lingkungan di daerah-daerah tersebut.
Resolusi HIjau 2015
Bila The Nature Conservancy in Indonesia bertanya apa resolusi di tahun 2015? Jawabannya adalah menyebarkan semangat resolusi hijau pada komunitas dan masyarakat Bali untuk mejaga kelestarian Teluk Benoa. Beragam cara yang sudah dilakukan, lewak aksi simpatik, pertunjukan seni, pementasan musik, termasuk lewat tulisan-tulisan.
Hal positif yang diharapkan dari gerakan ini adalah dapat menggugah kesadaran pembaca bahwa Reklamasi berkedok revitalisasi belum dibutuhkan untuk saat ini. Yang perlu dilakukan justru adalah mempertahankan status konservasi dan mengembangkan potensi wisata perairan di daerah tersebut, misalnya melalui program ekowisata.
Ekowisata bisa menjadi wujud nyata untuk mendukung resolusi hijau. Salah satu contoh jaringan yang sudah berjalan adalah Ekowisata Wanasari di kawasan Tuban, Kuta yang menggabungkan konsep pariwisata dan pelestarian lingkungan dan diselipkan unsur edukasi. Para nelayan ini mengelola hutan mangrove menjadi tempat wisata yang benar-benar nyaman, bersih sejuk serta banyak pasiltas yang memanjakan kita.
Ekowisata Wanasari dikembangkan dan dikelola menggunakan konsep ekonomi yang tetap menjaga keseimbangan alam. Masyarakat sekitar meningkatkan kesejahteraan sembari menjaga keseimbangan alam. Ini terlihat dari pemilihan bahan yang digunakan untuk pembangunan gazebo dan jembatan. Semuanya menggunakan bahan yang ramah lingkungan yaitu kayu, bukan beton.Konsep ini perlu dikembangkan secara lebih luas karena akan berdampak positif pada lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat di daerah perairan.
Resolusi hijau mengandung makna penting dalam upaya menyikapi berbagai isu lingkungan. Kita berharap meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengoptimalkan potensi alam yang sudah ada saat ini, dibarengi dengan upaya menjaga keberlanjutan (sustainability) dari lingkungan itu sendiri. Lebih spesifik lagi, masyarakat kelak dapat mewujudkan pariwisata berbasis komunitas, budaya, lingkungan, dan pendidikan.
Pariwisata Bali tergantung kepada alam , budaya dan spiritualitas. Penguasa dan Pengusaha harusnya menyadari bahwa pariwisata bukanlah ekspolitasi alam, melainkan juga menjaga keseimbangan ekologis. Seperti halnya misi yang diusung oleh The Nature Conservancy Program in Indonesia, Melindungi Alam Dan Melestarikan Kehidupan
Referensi :
https//forbali.org
http://nature.or.id
http://balebengong.net
http://www.mongabay.co.id/2012/06/21/walhi-bali-hentikan-pembangunan-akomodasi-wisata-secara-berlebihan/