Asas Pengenaan Pajak dan Pengelolaan Pajak yang Baik (Paper)

BAB I
PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.
Setiap tahun pemerintah menyiapkan anggaran keuangan yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja yang mempunyai fungsi sebagai kebijakan keuangan pemerintahan dalam memperoleh dan mengeluarkan uang yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan. Anggaran ini memperlihatkan jumlah pendapatan dan belanja yang diantisipasikan dalam tahun berikut. Dalam unsur pendapatan yang paling utama dan penting adalah pendapatan yang berasal pajak, selain dari pada itu berasal dari sumber lain yang dinamakan “Pendapatan Negara Bukan Pajak” (PNBP) dan hibah.
Dengan meningkatnya jumlah pendapatan yang berasal dari pajak, masalah yang berkenaan dengan pajak perlu diperhatikan, terutama mengenai masalah prinsip pengenaan pajak seperti keadilan, peran pajak dalam pengaturan kebijakan ekonomi, pengaturan mengenai penataan pajak dsb.

2.      RUMUSAN MASALAH
Ada beberapa masalah yang akan dibahas pada paper atau karya tulis ini,yaitu:
1.Bagaimana asas pengenaan pajak terhadap masyarakat dalam upaya meningkatkan pendapatan negara?
2.Bagaimana pengelolaan keuangan terutama pengelolaan pajak yang baik, yang anti korupsi?

3.TUJUAN PENULISAN
  1. Mengetahui asas – asas pengenaan pajak pada masyarakat
  2. Mengetahui pengelolaan keuangan pajak yang anti korupsi

4.MANFAAT PENULISAN
  1. Dapat mengetahui peranan pajak sebagai sumber pendapatan negara.
  2. Dapat mengetahui dan meningkatkan pemahaman tentang keuangan negara dan daerah

5.METODE PENULISAN
Dalam penyusunan paper atau karya tulis ini, penulis menggunakan metode study kepustakaan (library research) dengan menggunakan buku – buku serta media internet untuk mendapatkan materi tambahan serta artikel – artikel yang terkait untuk mengembangkan pembahasan berdasarkan masalah- masalah yang ada.
                                                                BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Asas Pengenaan Pajak
            Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Tidak mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai maswalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:
  • Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.Contohnya:
  1. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak
  2. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak
  3. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran
  • Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
  • Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
  • Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
  • Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak
  • Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.


  • Pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
  • Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
  • Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif
  • Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%
  • Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi)

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
  1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
  2. Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
  3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara mengga¬bungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.
Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus.



2.2 Pengelolaan Keuangan yang anti korupsi
            Dalam pembahasan RAPBD mejadi APBD dari segi ketatanegaraan harus mengikuti asas keterbukaan (openbaar beginsel). Asas itu merupakan syarat untuk terwujudnya good governance dalam pengelolaan keuangan. Pembahasan RAPBD menjadi APBD merupakan fase yang disebut dengan legislative authorization. Mengingat legislatif merupakan representative body, maka seharusnya dan selayaknya badan ini menampung, merespons harapan/aspirasi rakyat.
Untuk dapat merespons aspirasi rakyat perlu mekanisme bagaimana rakyat menyampaikann aspirasinya itu. Karena itu pemerintah di semua lini harus mengembangkan konsep open government.        Konsep open government mengandung pengertian bahwa seluruh kegiatan pemerintah harus dapat dipantau serta diikuti masyarakat, informasi yang dikuasai/dimiliki pemerintah dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat, proses pengambilan keputusan bersifat terbuka bagi masyarakat untuk terlibat di dalamnya, dan dapat diajukan keberatan apabila hak-hak pemantauan, pelibatan masyarakat dan akses informasi diabaikan atau ditolak. Dengan memperhatikan hal di atas, maka masyarakat dalam open government memiliki (1) right to observe; (2) right access information; (3) right to be partisipate; dan (4) right to appeal/complain.
Mas Ahmad Sentosa secara gamblang mengemukakan bahwa di Indonesia ketertutupan sangat mendomonasi proses pengambilan keputusan publik. Hak untuk menjadi pengamat (rigth to observe) dan hak untuk terlibat dalam proses pembentukan kebijakan publik (right to partisipate) dalam realitas masih sangat sulit berkembang.
Di Amerika Serikat hak-hak masyarakat untuk ikut terlibat/berpartisipasi dibingkai dalam“ Government Sunshine Act,” di mana undang-undang itu dimaksudkan agar setiap perbuatan pemerintah benar-benar terbuka (transparan), terang benderang ibarat berada di bawah sinar matahari. Sunshine act mensyaratkan setiap pertemuan lembaga pemerintah terbuka untuk umum. Undang-undang itu mewajibkan pemerintah seminggu sebelum pertemuan dilakukan, harus sudah memberitahu/mengumumkan soal waktu, tempat, agenda dan keterangan petugas yang dapat dihubungi. Selain itu juga terdapat undang-undang tentang Prosedur Administrasi “US Administrative Procedure Act (APA)”, Undang-undang itu memberi hak-hak kepada publik untuk berpartisipasi aktif dalam setiap pembentukan kebijakan. Hal yang menarik dari undang-undang itu adalah dikenalnya tiga tahap pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan, yakni:
1. Kewajiban memberi tahu kepada publik ( obligation to notice),
2. Memberi peluang kepada masyarakat menyampaikan pendapat (public right to comment)
3. Penyelenggaran dengar pendapat dengan masyarakat (public hearing).
Apa yang diutarakan di atas, jika dihubungkan dengan keadaan Indonesia, apa yang diatur dalam Sunshine act maupun dalam US Administrativ Procedure Act (APA) yang terdapat terdapat di USA menarik kita jadikan analisis perbandingan, dan kemudian dipertimbangkan penerapannya di Indonesia. Indonesia sangat membutuhkan aturan hukum yang mewadahi partisipasi masyarakat dalam pembentukan keputusan. Hal yang kurang lebih sama, di mana provinsi juga dapat membentuk peraturan tersebut yang akan mendukung partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan.
Persoalan yang kita hadapi dalam pembahadan RAPBD di DPRD adalah alasan klasik mepetnya waktu. Hal itu entah disengaja atau tidak, kecenderungan umum di daerah memang penyampaian RAPBD kepada DPRD selalu terlambat. Pasal 20 ayat (1) Undang-undang No. 17 tahun 2003 menyatakan bahwa RAPBD itu sudah harus disampaikan minggu pertama bulan Oktober. Dengan konstruksi waktu itu diharapkan DPRD mempunyai waktu dua bulan membahas RAPBD. Akibatnya keterlambatan menyampaikan RAPBD mempunyai konsekuensi terhadap waktu penetapan, apalagi pembahasan di DPRD cenderung juga memakan waktu yang lama. Batas waktu penetapan APBD yang diamanatkan undang-undang yakni satu bulan sebelum tahun anggaran itu dilaksanakan atau tepatnya bulan Desember tahun sebelumnya tidak pernah terlaksana. 
Kebijakan pembahasan anggaran di DPRD yang kurang melibatkan rakyat menimbulkan kecenderungan umum, alokasi dana ditetapkan berdasarkan bergainning SKPD dengan dewan. Di sinilah peluang korupsi terbuka bahkan sering kali alokasi dana dikaitkan dengan bisnis yang dijalankan, sehingga terkesan pembahasan APBD membagi-bagi proyek. Persolannya sekarang bagimana kita melakukan reformasi pengelolaan keuangan daerah.
Pelaksanaan APBD    
Pada tahapan pelaksanaan anggaran yang rawan terjadinya korupsi dalam bentuk kebijakan, yang perlu dilakukan kritisi baik pada sumber penerimaan, maupun pada pengeluaran keuangan. Pada simpul-simpul tadi sangat rawan terjadinya kurupsi.
a. Pada sumber-sumber penerimaan
Sumber penerimaan daerah yang belum transparan dapat membuka peluang terjadinya korupsi. Karena itu transparansi pengelolaan sumber pendapatan merupakan hal yang tidak mungkin ditawar-tawar lagi kalau ingin mengatasi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Kasus pengelolaan perpakiran yang terakhir terjadi di Kota Padang menunjukkan betapa rentannya sumber pendapatan terhadap korupsi, di mana sebesar 293 juta uang yang telah dikumpul P.T Cermelang Serumpun tidak diserahkan ke Pemerintah Kota. Peluang korupsi juga akan mudah terjadi jika pengelolaan pendapat daerah masih dilakukan secara konvensional dan belum menggunakan teknologi yang baik (elecronic government). Karena itu sebaiknya daerah memang menggunakan teknologi dalam pengelolaan keuangan daerah.       
Penyimpangan lain yang mudah terjadi dalam tahapan ini adalah kongkalingkong/kolusi antara petugas pajak dan wajib pajak. Petugas pajak dapat membantu wajib pajak agar dibebaskan dari kewajiban hutang pajaknya atau dikurangi hutang pajaknya. Untuk mengatasi persoalan itu sudah selayaknya di daerah terdapat data yang akurat berhubungan dengan perpajakan, dilakukan pengawasan yang benar. Akibat tidak transparannya sektor penerimaan akan terbuka celah terjadinya korupsi. Tindakan kolusi adalah sebagai kelakuan yang berkarakter I give so that you give.

b. Pada sumber perbelanjaan
Pelaksanaan tender yang tidak kompetitif dapat menimbulkan mark up terhadap nilai proyek yang ditenderkan. Salah satu komponen penting dalam new public management dalam pengelolaan keuangan daerah adalah adanya kompetisi tender (compulsary competitive tendering contract). Sekalipun kita menyadari Keppres pelaksanaan APBN sudah ada, tetapi persoalan dalam implementasi bisa berbeda dari aturan. Untuk itu perlu terobosan, keberanian melakukan improvisasi untuk terlaksananya prinsip pengelolaan keuangan yang efisien dan efektif.  
Korupsi pada sumber perbelanjaan ini dapat melahirkan korupsi dalam praktik bisnis. Bentuk korupsi di sini ada yang disebut dengan korupsi transaktif (transactive corruption) yang dalam hal ini ada kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan peneriman demi keuntungan kedua belah pihak; bentuk korupsi perkerabatan (nepotism curruption) yang berkenaan dengan penyalahgunaan wewenang/kekuasaan untuk berbagi keuntungan bagi teman atau saudara maupun kroni-kroni; korupsi insentif (insentive corruption) adalah memberi suatu jasa atau barang tertentu pada pihak lain untuk keuntungan di masa depan, serta masih ada bentuk–bentuk lainnya.
HM Nurnas mengatakan untuk mengatasi korupsi dalam pengadaan barang kita perlu mempelajari patologi penyakit kurupsi dalam pengadaan barang. Terdapat 12 langkah prosedural pengadaan barang pemerintah mulai dari perencanaan pengadaan, pembentukan panitia lelang, penyususnan dukumen lelang, pengumuman pelelangan, pengambilan dukumen lelang, penentuan harga perkiraan sendiri, penjelasan lelang, penyerahan penawaran harga dan pembukaan penawaran, evaluasi penawaran, pengumuman calon pemenang, sanggahan peserta lelang dan penunjukan pemenang lelang. Kebijakan yang perlu diambil dari setiap segmentasi pengadaan barang dan jasa pemerintah menurut HM Nurnas perlu peran serta masyarakat. Masyarakat dapat melaksanakan fungsi peniup peluit yang berfungsi sebagai alarm pencegahan tindak pidana korupsi.

BAB III
PENUTUP
            3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1)      Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah asas domicile, asas sumber dan asas nasionalitas.
2)      Penyimpangan yang dapat terjadi dalam pengelolaan keuangan yang menyangkut pajak adalah kongkalingkong/kolusi antara petugas pajak dan wajib pajak. Petugas pajak dapat membantu wajib pajak agar dibebaskan dari kewajiban hutang pajaknya atau dikurangi hutang pajaknya. Sehingga butuh pengawasan intensif dalam pengelolaannya.

            3.2 Saran
Pada akhir penulisan ini penulis ingin menyampaikan saran sebagai berikut :
-          Pemerintah harus mengikuti asas – asas pengenaan pajak terhadap masyarakat sehingga tidak memberatkan masyarakat namun tetap mendukung penerimaan keuangan negara melalui pajak.
-          Pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih maksimal dalam pengelolaan terutama proses pemungutan pajak sehingga menghindarkan adanya celah celah korupsi dalam pengelolaan keuangan negara.


DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, tentang subjek pajak dan objek pajak
Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang – undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah





 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons