BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara
yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam
perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya
negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh
dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah
memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui
Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak
yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari
kewajiban tersebut.
Setiap tahun pemerintah menyiapkan anggaran keuangan yang
disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja yang mempunyai fungsi sebagai kebijakan
keuangan pemerintahan dalam memperoleh dan mengeluarkan uang yang digunakan
untuk menjalankan pemerintahan. Anggaran ini memperlihatkan jumlah pendapatan
dan belanja yang diantisipasikan dalam tahun berikut. Dalam unsur pendapatan
yang paling utama dan penting adalah pendapatan yang berasal pajak, selain dari
pada itu berasal dari sumber lain yang dinamakan “Pendapatan Negara Bukan
Pajak” (PNBP) dan hibah.
Dengan
meningkatnya jumlah pendapatan yang berasal dari pajak, masalah yang berkenaan
dengan pajak perlu diperhatikan, terutama mengenai masalah prinsip pengenaan
pajak seperti keadilan, peran pajak dalam pengaturan kebijakan ekonomi,
pengaturan mengenai penataan pajak dsb.
2.
RUMUSAN MASALAH
Ada beberapa masalah
yang akan dibahas pada paper atau karya tulis ini,yaitu:
1.Bagaimana asas pengenaan pajak terhadap
masyarakat dalam upaya meningkatkan pendapatan negara?
2.Bagaimana pengelolaan keuangan terutama
pengelolaan pajak yang baik, yang anti korupsi?
3.TUJUAN PENULISAN
- Mengetahui asas – asas
pengenaan pajak pada masyarakat
- Mengetahui pengelolaan keuangan
pajak yang anti korupsi
4.MANFAAT PENULISAN
- Dapat mengetahui peranan pajak
sebagai sumber pendapatan negara.
- Dapat mengetahui dan
meningkatkan pemahaman tentang keuangan negara dan daerah
5.METODE PENULISAN
Dalam penyusunan paper atau karya
tulis ini, penulis menggunakan metode study kepustakaan (library research) dengan menggunakan buku – buku serta media
internet untuk mendapatkan materi tambahan serta artikel – artikel yang terkait
untuk mengembangkan pembahasan berdasarkan masalah- masalah yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asas
Pengenaan Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat
balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa
kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga
Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal
yang ada di bawah naungan Departemen
Keuangan Republik Indonesia.
Tidak mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat
akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak
akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai
maswalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:
- Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk
hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam
hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam
pelaksanaannya.Contohnya:
- Dengan mengatur hak dan kewajiban
para wajib pajak
- Pajak diberlakukan bagi setiap
warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak
- Sanksi atas pelanggaran pajak
diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran
- Pengaturan pajak harus
berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi:
"Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan
Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan
UU tentang pajak, yaitu:
- Pemungutan pajak yang dilakukan
oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
- Jaminan hukum bagi para wajib
pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
- Jaminan hukum akan terjaganya
kerasahiaan bagi para wajib pajak
- Pungutan pajak tidak mengganggu
perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar
tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik
kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa.
Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha
masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.
- Pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka
pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih
rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem
pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian,
wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari
segi penghitungan maupun dari segi waktu.
- Sistem pemungutan pajak harus
sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan
keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib
pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan
dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam
pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan
semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
- Bea materai disederhanakan dari
167 macam tarif menjadi 2 macam tarif
- Tarif PPN yang beragam
disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%
- Pajak perseorangan untuk badan dan
pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak
penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi)
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau
kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai
keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan
yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan
negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu
undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan
dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh
negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak,
khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering
digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
- Asas domisili atau disebut juga
asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas
ini negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan, apabila untuk
kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk
(resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang
bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak
dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal.
Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan
pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili
(kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang
diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri
(world-wide income concept).
- Asas sumber, Negara yang menganut
asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima
atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang
akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau
badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu.
Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari
orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi
landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari
negara itu. Contoh: Tenaga
kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang
didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
- Asas kebangsaan atau asas
nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship
principle).Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak
adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh
penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana
penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas
domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini
dilakukan dengan cara mengga¬bungkan asas nasionalitas dengan konsep
pengenaan pajak atas world wide income.
Terdapat
beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas
nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak
lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang
dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status
subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus
sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai
warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang
menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber,
yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan
dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau
badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua,
pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan
yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber,
penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada
penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara
yang bersangkutan.
Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas
saja, tetapi mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili
dengan asas sumber, gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa
gabungan ketiganya sekaligus.
2.2 Pengelolaan
Keuangan yang anti korupsi
Dalam pembahasan RAPBD mejadi APBD dari segi
ketatanegaraan harus mengikuti asas keterbukaan (openbaar beginsel). Asas itu
merupakan syarat untuk terwujudnya good governance dalam pengelolaan keuangan.
Pembahasan RAPBD menjadi APBD merupakan fase yang disebut dengan legislative
authorization. Mengingat legislatif merupakan representative body, maka
seharusnya dan selayaknya badan ini menampung, merespons harapan/aspirasi
rakyat.
Untuk dapat merespons aspirasi rakyat perlu
mekanisme bagaimana rakyat menyampaikann aspirasinya itu. Karena itu pemerintah
di semua lini harus mengembangkan konsep open government. Konsep open government mengandung
pengertian bahwa seluruh kegiatan pemerintah harus dapat dipantau serta diikuti
masyarakat, informasi yang dikuasai/dimiliki pemerintah dapat dengan mudah
diakses oleh masyarakat, proses pengambilan keputusan bersifat terbuka bagi
masyarakat untuk terlibat di dalamnya, dan dapat diajukan keberatan apabila
hak-hak pemantauan, pelibatan masyarakat dan akses informasi diabaikan atau
ditolak. Dengan memperhatikan hal di atas, maka masyarakat dalam open
government memiliki (1) right to observe; (2) right access information; (3)
right to be partisipate; dan (4) right to appeal/complain.
Mas Ahmad Sentosa secara gamblang mengemukakan
bahwa di Indonesia ketertutupan sangat mendomonasi proses pengambilan keputusan
publik. Hak untuk menjadi pengamat (rigth to observe) dan hak untuk terlibat
dalam proses pembentukan kebijakan publik (right to partisipate) dalam realitas
masih sangat sulit berkembang.
Di Amerika Serikat hak-hak masyarakat untuk ikut terlibat/berpartisipasi dibingkai dalam“ Government Sunshine Act,” di mana undang-undang itu dimaksudkan agar setiap perbuatan pemerintah benar-benar terbuka (transparan), terang benderang ibarat berada di bawah sinar matahari. Sunshine act mensyaratkan setiap pertemuan lembaga pemerintah terbuka untuk umum. Undang-undang itu mewajibkan pemerintah seminggu sebelum pertemuan dilakukan, harus sudah memberitahu/mengumumkan soal waktu, tempat, agenda dan keterangan petugas yang dapat dihubungi. Selain itu juga terdapat undang-undang tentang Prosedur Administrasi “US Administrative Procedure Act (APA)”, Undang-undang itu memberi hak-hak kepada publik untuk berpartisipasi aktif dalam setiap pembentukan kebijakan. Hal yang menarik dari undang-undang itu adalah dikenalnya tiga tahap pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan, yakni:
1. Kewajiban memberi tahu kepada publik ( obligation to notice),
2. Memberi peluang kepada masyarakat menyampaikan pendapat (public right to comment)
3. Penyelenggaran dengar pendapat dengan masyarakat (public hearing).
Apa yang diutarakan di atas, jika dihubungkan dengan keadaan Indonesia, apa yang diatur dalam Sunshine act maupun dalam US Administrativ Procedure Act (APA) yang terdapat terdapat di USA menarik kita jadikan analisis perbandingan, dan kemudian dipertimbangkan penerapannya di Indonesia. Indonesia sangat membutuhkan aturan hukum yang mewadahi partisipasi masyarakat dalam pembentukan keputusan. Hal yang kurang lebih sama, di mana provinsi juga dapat membentuk peraturan tersebut yang akan mendukung partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan.
Di Amerika Serikat hak-hak masyarakat untuk ikut terlibat/berpartisipasi dibingkai dalam“ Government Sunshine Act,” di mana undang-undang itu dimaksudkan agar setiap perbuatan pemerintah benar-benar terbuka (transparan), terang benderang ibarat berada di bawah sinar matahari. Sunshine act mensyaratkan setiap pertemuan lembaga pemerintah terbuka untuk umum. Undang-undang itu mewajibkan pemerintah seminggu sebelum pertemuan dilakukan, harus sudah memberitahu/mengumumkan soal waktu, tempat, agenda dan keterangan petugas yang dapat dihubungi. Selain itu juga terdapat undang-undang tentang Prosedur Administrasi “US Administrative Procedure Act (APA)”, Undang-undang itu memberi hak-hak kepada publik untuk berpartisipasi aktif dalam setiap pembentukan kebijakan. Hal yang menarik dari undang-undang itu adalah dikenalnya tiga tahap pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan, yakni:
1. Kewajiban memberi tahu kepada publik ( obligation to notice),
2. Memberi peluang kepada masyarakat menyampaikan pendapat (public right to comment)
3. Penyelenggaran dengar pendapat dengan masyarakat (public hearing).
Apa yang diutarakan di atas, jika dihubungkan dengan keadaan Indonesia, apa yang diatur dalam Sunshine act maupun dalam US Administrativ Procedure Act (APA) yang terdapat terdapat di USA menarik kita jadikan analisis perbandingan, dan kemudian dipertimbangkan penerapannya di Indonesia. Indonesia sangat membutuhkan aturan hukum yang mewadahi partisipasi masyarakat dalam pembentukan keputusan. Hal yang kurang lebih sama, di mana provinsi juga dapat membentuk peraturan tersebut yang akan mendukung partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan.
Persoalan yang kita hadapi dalam pembahadan
RAPBD di DPRD adalah alasan klasik mepetnya waktu. Hal itu entah disengaja atau
tidak, kecenderungan umum di daerah memang penyampaian RAPBD kepada DPRD selalu
terlambat. Pasal 20 ayat (1) Undang-undang No. 17 tahun 2003 menyatakan bahwa
RAPBD itu sudah harus disampaikan minggu pertama bulan Oktober. Dengan
konstruksi waktu itu diharapkan DPRD mempunyai waktu dua bulan membahas RAPBD.
Akibatnya keterlambatan menyampaikan RAPBD mempunyai konsekuensi terhadap waktu
penetapan, apalagi pembahasan di DPRD cenderung juga memakan waktu yang lama.
Batas waktu penetapan APBD yang diamanatkan undang-undang yakni satu bulan
sebelum tahun anggaran itu dilaksanakan atau tepatnya bulan Desember tahun
sebelumnya tidak pernah terlaksana.
Kebijakan pembahasan anggaran di DPRD yang
kurang melibatkan rakyat menimbulkan kecenderungan umum, alokasi dana
ditetapkan berdasarkan bergainning SKPD dengan dewan. Di sinilah peluang
korupsi terbuka bahkan sering kali alokasi dana dikaitkan dengan bisnis yang dijalankan,
sehingga terkesan pembahasan APBD membagi-bagi proyek. Persolannya sekarang
bagimana kita melakukan reformasi pengelolaan keuangan daerah.
Pelaksanaan APBD
Pada tahapan pelaksanaan anggaran yang rawan terjadinya korupsi dalam bentuk kebijakan, yang perlu dilakukan kritisi baik pada sumber penerimaan, maupun pada pengeluaran keuangan. Pada simpul-simpul tadi sangat rawan terjadinya kurupsi.
a. Pada sumber-sumber penerimaan
Pada tahapan pelaksanaan anggaran yang rawan terjadinya korupsi dalam bentuk kebijakan, yang perlu dilakukan kritisi baik pada sumber penerimaan, maupun pada pengeluaran keuangan. Pada simpul-simpul tadi sangat rawan terjadinya kurupsi.
a. Pada sumber-sumber penerimaan
Sumber penerimaan daerah yang belum transparan
dapat membuka peluang terjadinya korupsi. Karena itu transparansi pengelolaan
sumber pendapatan merupakan hal yang tidak mungkin ditawar-tawar lagi kalau
ingin mengatasi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Kasus pengelolaan
perpakiran yang terakhir terjadi di Kota Padang menunjukkan betapa rentannya
sumber pendapatan terhadap korupsi, di mana sebesar 293 juta uang yang telah
dikumpul P.T Cermelang Serumpun tidak diserahkan ke Pemerintah Kota. Peluang
korupsi juga akan mudah terjadi jika pengelolaan pendapat daerah masih dilakukan
secara konvensional dan belum menggunakan teknologi yang baik (elecronic
government). Karena itu sebaiknya daerah memang menggunakan teknologi dalam
pengelolaan keuangan daerah.
Penyimpangan lain yang mudah terjadi dalam
tahapan ini adalah kongkalingkong/kolusi antara petugas pajak dan wajib pajak.
Petugas pajak dapat membantu wajib pajak agar dibebaskan dari kewajiban hutang
pajaknya atau dikurangi hutang pajaknya. Untuk mengatasi persoalan itu sudah
selayaknya di daerah terdapat data yang akurat berhubungan dengan perpajakan,
dilakukan pengawasan yang benar. Akibat tidak transparannya sektor penerimaan
akan terbuka celah terjadinya korupsi. Tindakan kolusi adalah sebagai kelakuan
yang berkarakter I give so that you give.
b. Pada sumber perbelanjaan
Pelaksanaan tender yang tidak kompetitif dapat menimbulkan mark up terhadap nilai proyek yang ditenderkan. Salah satu komponen penting dalam new public management dalam pengelolaan keuangan daerah adalah adanya kompetisi tender (compulsary competitive tendering contract). Sekalipun kita menyadari Keppres pelaksanaan APBN sudah ada, tetapi persoalan dalam implementasi bisa berbeda dari aturan. Untuk itu perlu terobosan, keberanian melakukan improvisasi untuk terlaksananya prinsip pengelolaan keuangan yang efisien dan efektif.
Pelaksanaan tender yang tidak kompetitif dapat menimbulkan mark up terhadap nilai proyek yang ditenderkan. Salah satu komponen penting dalam new public management dalam pengelolaan keuangan daerah adalah adanya kompetisi tender (compulsary competitive tendering contract). Sekalipun kita menyadari Keppres pelaksanaan APBN sudah ada, tetapi persoalan dalam implementasi bisa berbeda dari aturan. Untuk itu perlu terobosan, keberanian melakukan improvisasi untuk terlaksananya prinsip pengelolaan keuangan yang efisien dan efektif.
Korupsi pada sumber perbelanjaan
ini dapat melahirkan korupsi dalam praktik bisnis. Bentuk korupsi di sini ada
yang disebut dengan korupsi transaktif (transactive corruption) yang dalam hal
ini ada kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan peneriman demi
keuntungan kedua belah pihak; bentuk korupsi perkerabatan (nepotism curruption)
yang berkenaan dengan penyalahgunaan wewenang/kekuasaan untuk berbagi
keuntungan bagi teman atau saudara maupun kroni-kroni; korupsi insentif (insentive
corruption) adalah memberi suatu jasa atau barang tertentu pada pihak lain
untuk keuntungan di masa depan, serta masih ada bentuk–bentuk lainnya.
HM Nurnas mengatakan untuk mengatasi korupsi dalam pengadaan barang kita perlu mempelajari patologi penyakit kurupsi dalam pengadaan barang. Terdapat 12 langkah prosedural pengadaan barang pemerintah mulai dari perencanaan pengadaan, pembentukan panitia lelang, penyususnan dukumen lelang, pengumuman pelelangan, pengambilan dukumen lelang, penentuan harga perkiraan sendiri, penjelasan lelang, penyerahan penawaran harga dan pembukaan penawaran, evaluasi penawaran, pengumuman calon pemenang, sanggahan peserta lelang dan penunjukan pemenang lelang. Kebijakan yang perlu diambil dari setiap segmentasi pengadaan barang dan jasa pemerintah menurut HM Nurnas perlu peran serta masyarakat. Masyarakat dapat melaksanakan fungsi peniup peluit yang berfungsi sebagai alarm pencegahan tindak pidana korupsi.
HM Nurnas mengatakan untuk mengatasi korupsi dalam pengadaan barang kita perlu mempelajari patologi penyakit kurupsi dalam pengadaan barang. Terdapat 12 langkah prosedural pengadaan barang pemerintah mulai dari perencanaan pengadaan, pembentukan panitia lelang, penyususnan dukumen lelang, pengumuman pelelangan, pengambilan dukumen lelang, penentuan harga perkiraan sendiri, penjelasan lelang, penyerahan penawaran harga dan pembukaan penawaran, evaluasi penawaran, pengumuman calon pemenang, sanggahan peserta lelang dan penunjukan pemenang lelang. Kebijakan yang perlu diambil dari setiap segmentasi pengadaan barang dan jasa pemerintah menurut HM Nurnas perlu peran serta masyarakat. Masyarakat dapat melaksanakan fungsi peniup peluit yang berfungsi sebagai alarm pencegahan tindak pidana korupsi.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa:
1)
Terdapat
beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan
wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak
penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai
landasan untuk mengenakan pajak adalah asas domicile, asas sumber dan asas
nasionalitas.
2)
Penyimpangan
yang dapat terjadi dalam pengelolaan keuangan yang menyangkut pajak adalah
kongkalingkong/kolusi antara petugas pajak dan wajib pajak. Petugas pajak dapat
membantu wajib pajak agar dibebaskan dari kewajiban hutang pajaknya atau
dikurangi hutang pajaknya. Sehingga butuh pengawasan intensif dalam
pengelolaannya.
3.2
Saran
Pada akhir penulisan ini penulis ingin menyampaikan saran
sebagai berikut :
-
Pemerintah
harus mengikuti asas – asas pengenaan pajak terhadap masyarakat sehingga tidak
memberatkan masyarakat namun tetap mendukung penerimaan keuangan negara melalui
pajak.
-
Pemerintah
perlu melakukan pengawasan yang lebih maksimal dalam pengelolaan terutama
proses pemungutan pajak sehingga menghindarkan adanya celah celah korupsi dalam
pengelolaan keuangan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo. 2002. Akuntansi
Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994,
tentang subjek pajak dan objek pajak
Undang-Undang No. 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara
Undang – undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah