Upaya untuk mewujudkan cita-cita nasional memerlukan
kesungguhan untuk menegakkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara itu, untuk menuju ke arah demokrasi adalah merupakan sebuah proses
(demokratisasi) yang panjang, bibit-bibitnya perlu disemai, dipelihara, dipupuk
dan dikembangkan, sehingga dapat menjadi dewasa dan berkembang secara mandiri.
Untuk itu, sangatlah diperlukan adanya kesadaran dari berbagai komponen bangsa
ini untuk selalu bersikap dan berperilaku demokratis.
Berubah sikap dan perilaku menjadi seorang demokrat
tidaklah semudah membalikan telapak tangan, karena ada satu hal yang sulit
dipungkiri bahwa manusia itu pada dasarnya adalah konservatif,
sehingga ada kecenderungan ingin mempertahankan segala sesuatu yang sudah biasa
dilakukan – sekalipun itu sebuah kebiasaan yang jelek. Adapun tantangan
terbesar yang harus dihadapi ke depan adalah diperlukan adanya perubahan
perilaku (shifting of behaviour) yang sejalan dan konsisten dengan
agenda reformasi dan tidak terjebak untuk mengulangi kesalahan-kesalahan masa
lalu.
Transformasi ke arah demokrasi sebenarnya mengandung pengertian
pergeseran dari suatu sistem nondemokratis (apapun bentuknya) ke arah sistem
yang demokratis. Dalam banyak peristiwa, termasuk kasus Indonesia, transformasi
ke arah demokrasi hampir selalu berkaitan dengan perubahan dari hubungan yang
memiliki karakter zero-sum dalam artian negara sangat kuat dan
masyarakat sipil sangat lemah, berubah menjadi hubungan yang positive-sum.
Di lihat dari sudut pandang Ilmu Politik, reformasi sama
dengan demokratisasi dengan tujuan akhir membentuk Clean Government
dan Good Governance (Imawan, 2000). Clean Government yang
dimaksudkan adalah suatu bentuk atau struktur pemerintahan yang menjamin tidak
terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat, serta menghindari
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Untuk itu sangat
diperlukan adanya:
1.
Pemerintah yang dibentuk atas
kehendak orang banyak;
2.
Struktur organisasi pemerintah
yang tidak kompleks, dalam rangka untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah
dan tanggung jawab aparat;
3.
Mekanisme politik yang menjamin
hubungan konsultatif antara negara dan warga negara;
4.
Mekanisme saling mengontrol
antar aktor-aktor di dalam infra maupun supra struktur politik.
Good Governance yang
dimaksudkan adalah adanya satu mekanisme kerja, dimana aktivitas pemerintahan
berorientasi pada terwujudnya keadilan sosial dan pemerintah mampu secara
maksimal melaksanakan tiga fungsi dasarnya (service, development,
empowerment). Untuk itu diperlukan adanya:
1.
Perlindungan yang nyata
terhadap “ruang & wacana” publik;
2.
Mengakui dan menghormati
kemajemukan politik, dalam rangka mendorong partisipasi dan mewujudkan
desentralisasi;
3.
Pemerintah mengambil posisi
sebagai fasilitator dan advokator kepentingan publik.
1.2
Identifikasi Masalah
Mengingat banyaknya permasalahan yang
ada dalam judul yang kami bahas ini maka kami berusaha untuk melekukan
pengidentifikasian masalah yang menyangkut dengan judul penelitian kami, dengan
tujuan agar permasalahan yang kami bahas tidak jauh menyimpang dengan judul
penelitian. Yaitu permasalahan seputar bagaimana kualitas pelayanan public di
Bali.
1.3
Pembatasan Masalah
Terkait dengan identifikasi masalah
diatas maka kami juga melakukan pembatasan masalah mengingat dengan
keterbatasan penelitian yang kami lakukan, serta untuk menghindari kemungkinan
terjadinya bias terhadap judul yang penelitian kami.
1.4
Rumusan Masalah
Terkait dengan judul penelitian kami
yaitu ‘MEWUJUDKAN BIROKRASI YANG MENGEDEPANKAN ETIKA PELAYANAN PUBLIK dalam penelitian ini antara lain:
·
Bagaimana wajah birokrasi di
bali ?
·
Bagaimana kualitas pelayanan publiknya
?
·
Apa kelemahan birokrasi dalam
memberikan pelayanan public ?
·
Bagaimana tanggapan masyarakat
terhadap birokrasi dan pelayanan public?
1.5
Tujuan dan kegunaan penelitian
·
Tujuan umum
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan masyarakat tentang kualitas pelayanan pulik apakah sudah sesuai
etika administrasi atau tidak , serta
pemahaman terhadap birokrasi yang diterapkan selama ini.
·
Tujuan khusus
Kegunaan dari nenelitian ini yaitu
memenuhi salah perguruan tinggi yaitu mengadakan penelitian, serta untuk
meningkatan kualitas mahasiswa khususnya dalam bidang pembuatan karya ilmiah.
Selain itu juga untuk dapat memperoleh akreditasi bagi kampus universitas
mahendradatta khususnya fakultas ilmu sosial dan ilmu politik.
BAB II
TINAJAUAN PUSTAKA
2.1
Birokrasi sebagai
pelayan publik
Birokrasi memang diharapkan berperan besar dalam
pelaksanaan seluruh rencana negara yang telah diputuskan dalam kebijakan
publik. Namun dalam praktek pemerintahan negara – peran birokrasi seringkali
diragukan untuk dapat menghidupkan dan mendinamisasikan proses demokratisasi,
karena sifat birokrasi manapun pasti tidak dinamis (Suseno, 1992). Bahkan
Sutoro Eko (2003) menyatakan bahwa raksasa birokrasi Indonesia yang tidak bermutu,
justru menjadi beban yang sangat berat bagi negara dan masyarakat. Birokrasi Indonesia
adalah institusi yang lebih banyak menghabiskan ketimbang menghasilkan. Sebagai
sarang korupsi dan pencurian, birokrasi adalah penyumbang terbesar krisis
finansial negara. Benar-benar sebuah ironi yang konyol kalau negara menderita
krisis tetapi para pengelolanya bisa hidup kaya dan mewah.
Adanya perubahan paradigma yang berpusat pada rakyat dan
sejalan dengan perubahan paradigma dari UU No. 5 tahun 1974 yang menggunakan “The
structural efficiency model”, menuju UU No. 22 Tahun 1999 dan selanjutnya
diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan
“The local democracy model”. Pemerintah Daerah
Kabupaten dan Kota
diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan pelayanan kepada
masyarakat di daerah. Semangat otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya
memandirikan Pemerintah Daerah dalam menjalankan dan menyelenggarakan tugas
pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di daerah. Untuk itu
Pemerintah Daerah haruslah selalu tanggap dalam merespon serta menyikapi
kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Dengan pelaksanaan otonomi daerah
diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan
lebih murah.
Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin dinamis,
sejalan dengan tingkat kehidupan yang semakin baik, telah meningkatkan kesadarannya
akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Masyarakat yang semakin kritis dan berani untuk
mengajukan keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta melakukan kontrol atas
kinerja pemerintah. Masyarakat semakin berani menuntut birokrasi publik
untuk mengubah posisi dan perannya (revitalisasi) dalam memberikan layanan
publik. Kebiasaan suka mengatur dan memerintah mesti diubah menjadi suka
melayani, dari yang lebih suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah
menjadi suka menolong, semuanya menuju ke arah fleksibelitas, kolaboratis
dan dialogis, dan menghilangkan cara-cara yang sloganis menuju cara-cara
kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1988:119).
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas,
aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional,
efektif, efesien, serderhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif,
adaptif dan sekaligus dapat membangun “kualitas manusia” dalam arti
meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan
masa depannya sendiri (Effendi, 1986:213)
Dengan demikian sangatlah menarik untuk dikaji lebih
lanjut permasalahan yang berkaitan dengan fokus orasi ilmiah ini, yakni:
“Bagaimanakah kemampuan birokrasi yang mengedepankan etika pelayanan publik
dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan demokrasi?”
2.2
Pelayanan Birokrasi yang Profesional
Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah
memerlukan perangkat negara yang disebut dengan pemerintah dan pemerintahannya.
Dalam hal ini pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia
tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat
serta menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan
dan kreativitasnya (Rasyid, 1998:139).
Dalam paradigma “dikotomi politik dan administrasi”
seperti dikemukakan oleh Wilson, dalam Widodo (2001:245), menegaskan bahwa
pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang
berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau
pernyataan apa yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi yang
berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut.
Dengan demikian, kekuasaan membuat kebijakan publik
berada pada kekuasaan politik (political master), dan untuk
melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi negara.
Namun karena administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik memiliki
kewenangan secara umum disebut “discretionary power”, yakni
keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan
proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin
bahwa kewenangan itu digunakan “secara baik dan tidak secara buruk”.
Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi
publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang
harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan
sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi
dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk.
Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto
(2002:188), mengatakan bahwa: “Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu
panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada
masyarakat”. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas
kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada
pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat
luas.
Sementara pemahaman pelayanan publik yang disediakan
oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi
masyarakat dan abdi negara. Sehingga maksud dari public service
tersebut demi mensejahterakan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut,
Widodo (2001:269) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan
(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada
organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
2.3
Etika dan Konsep Etika
Pelayanan Publik
Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua fungsi,
yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, refrensi bagi administrasi
negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar
tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua,
etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan
tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
Beberapa konsep mengenai etika pelayanan publik dapat
disimak dari pendapat-pendapat berikut ini.
1.
Etika pelayanan publik adalah:
”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang
mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah
laku manusia yang dianggap baik” (Kumorotomo, 1996:7).
2.
Lebih lanjut dikatakan oleh
Putra Fadillah (2001:27), etika pelayanan publik adalah: ”suatu
cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang
mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku
manusia yang dianggap baik”.
3.
Sedangkan etika dalam konteks
birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188): ”Etika birokrasi digambarkan sebagai
suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan
pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas
kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan pada
pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat
luas”.
4.
Darwin (1999)
mengartikan etika birokrasi (administrasi negara) sebagai seperangkat
nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia organisasi.
Selanjutnya dikatakan bahwa etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua
fungsi yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, referensi bagi
administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan
tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian
mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak
tercela dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat
digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain: efesiensi, membedakan milik
pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible,
accountable, dan responsiveness.
5.
Menurut Widodo (2001:241),
Etika administrasi negara adalah merupakan wujud kontrol terhadap administrasi
negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya.
Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya
dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya
harus menyandarkan pada etika administrasi negara.
2.4
Prinsip-prinsip
Etika Pelayanan Publik
Etika administrasi negara dari American society for Public
Administration (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara),
menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut:
1.
Pelayanan terhadap publik harus
diutamakan;
2.
Rakyat adalah berdaulat, dan mereka
yang bekerja di dalam pelayanan publik secara mutlak bertanggung jawab
kepadanya;
3.
Hukum yang mengatur semua
kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum atau peraturan yang ada bersifat
jelas, maka kita harus mencari cara terbaik untuk memberi pelayanan publik;
4.
Manajemen yang efesien dan
efektif merupakan dasar bagi administrator publik. Penyalahgunaan, pemborosan,
dan berbagai aspek yang merugikan tidak dapat ditolerir;
5.
Sistem merit dan
kesempatan kerja yang sama harus didukung, diimplementasikan dan dipromosikan;
6.
Mengorbankan kepentingan publik
demi kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan;
7.
Keadilan, kejujuran,
keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empathy merupakan nilai-nilai
yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus dipromosikan;
8.
Kesadaran moral memegang
peranan penting dalam memilih alternatif keputusan;
9.
Administrator publik tidak
semata-mata berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar atau
mencari kebenaran (Wachs, 1985).
Selanjutnya asas-asas etika itu dituangkan dalam sebuah kode
etika yang memuat 5 asas etika dan 7 asas mutu yang wajib di indahkan dan
dijalankan oleh para anggota perhimpunan yang menjadi administrator negara,
yaitu sebagai berikut :
1.
Menunjukkan ukuran baku tertinggi tentang
keutuhan watak pribadi, kebenaran, kejujuran, dan ketabahan dalam
semua kegiatan umum, agar supaya membangkitkan keyakinan dan kepercayaan rakyat
terhadap pranata-pranata negara;
2.
Menghindari sesuatu kepentingan
atau kegiatan yang berada dalam pertentangan dengan penuaian dari kewajiban-kewajiban
resmi;
3.
Mendukung, melaksanakan, dan
memajukan penempatan tenaga kerja menurut penilaian kecakapan serta tata-acara
tindakan yang tidak membeda-bedakan guna menjamin kesempatan yang sama pada
penerimaan, pemilihan, dan kenaikan pangkat terhadap orang-orang yang
memenuhi persyaratan dari segenap unsur masyarakat;
4.
Menghapuskan semua pembedaan
tak sah, kecurangan, dan salah pengurusan keuangan negara serta mendukung
rekan-rekan kalau mereka berada dalam kesulitan karena usaha yang
bertanggungjawab untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan, salah urus, atau
salah penggunaan yang demikian;
5.
Melayani masyarakat secara
hormat, penuh perhatian, sopan, dan tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan
kepada masyarakat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri;
6.
Berjuang kearah keunggulan
berkeahlian perseorangan dan menganjurkan pengembangan berkeahlian dan termasuk
mereka yang berusaha memasuki bidang administrasi negara;
7.
Menghampiri tugas organisasi
dan kewajiban-kewajiban kerja dengan suatu sikap yang positif dan secara
membangun mendukung tata hubungan yang terbuka, daya cipta, pengabdian, dan
welas asih;
8.
Menghormati dan melindungi
keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang dapat diperoleh dalam pelaksanaan
kewajiban-kewajiban resmi;
9.
Menjalankan wewenang kebijaksanaan
apapun yang dimiliki menurut hukum untuk memajukan kepentingan umum atau
masyarakat;
10. Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk
mengikuti perkembangan baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan
menangani urusan masyarakat dengan kecakapan berkeahlian, kelayakan, sikap tak
memihak, efisiensi, dan daya guna;
11. Menghormati, mendukung, menelaah, dan bilamana perlu
berusaha untuk menyempurnakan konstitusi-konstitusi negara serikat dan negara
bagian serta hukum-hukum lainnya yang mengatur hubungan-hubungan diantara
badan-badan pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan semua warga
negara (Gie,1998:31-41).
2.5
Pelayanan dan
Konsep Pelayanan
Setiap kehidupan bermasyarakat, manusia pasti memerlukan
pelayanan dari orang lain, baik pelayanan fisik maupun pelayanan administratif.
Kaitannya dengan pelayanan publik maka dalam hal ini birokrasi sebagai abdi
negara, abdi masyarakat adalah sebagai aparat pelaksana pelayanan (public
service) merupakan salah satu fungsi yang diselenggarakan dalam rangka
penyelenggaraan administrasi negara.
Sianipar (1998:5) mengatakan bahwa pelayanan
didefinisikan sebagai cara melayani, membantu, menyiapkan, dan mengurus,
menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau sekolompok orang, artinya
objek yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi, dan kelompok-kelompok
organisasi.
Sedangkan Moenir (1992), mengatakan pelayanan adalah
sebuah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas yang dilakukan oleh orang
lain secara langsung. Menurutnya secara garis besar, pelayanan yang diperlukan
oleh manusia pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu “pelayanan fisik yang sifatnya
pribadi sebagai manusia” dan “pelayanan administrative yang diberikan
oleh orang lain selaku anggota organisasi”. Lebih lanjut dikatakan pada
hakekatnya, pelayanan adalah serangkaian kegiatan, karena itulah ia merupakan
proses. Sebagai proses, “pelayanan” berlangsung secara rutin dan
berkesinambungan, yang meliputi seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat.
.
BAB
III
METOLOGI
PENELITIAN
3.1 Pendekatan penelitian
Beberapa karakteristik penting yanng
ada dalam jenis penelitian ini, seperti yang dikemukakan oleh cassill dan symon
(1994:4-6) adalah: 1) mempertimbangkan apa yang di anggap bisa dipahami untuk
mengurangi quantifeable term; 2) Kurang begitu memberi tekanan pada pembatasan
apriori clasification; 3) Memberikan flasibilitas dalam penelitian;4)Cukup
sensitif untuk memberikan analisis yang terperici terhadap sebuah perusahaan;
5) Bisa berlangsung hnya pada natural setting, sehingga bisa memberikan
pandngan secara holistik terhadap situasi atau organisasi yang diamati; 6)
Fokus study adalah pemahaman terhadap ‘life world’ dari individu; 7) Penelitian
harus bertindak pro aktif dalam mendefinisikan persoalan-persoalan penting dalam
hubungan dengan penelitian.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang
digunakan adalah kualitatif yaitu studi kasus dalam masyarakat. Pilihan
terhadap studi kasus didasari oleh pertimbangan karena ini biasanya
dipergunakan dalam studi perilaku masyarakat, kususnya dalam mengkaji respon
masyarakat. Kekuatan studi semacam ini terletak pada kapasitasnya menyelidiki
proses sosial dalam masyarakat. Denagan menggunakan metode kualitatif termasuk
obserfasi, peneliti dapat belajar banyak tentang proses dari pada menggunakan
teknik lainnya, seperti survai (cassel dan symon, 1994; 209). Studi kasus juga
bermanfaat bila di pergunakan untuk menentukan proses perilaku yang baru atau
sesuatu pemahaman yang sempit. Dalam hal ini studi kasus memiliki fungsi
penting dalam menghasilkan hipotesis dan pembentukan teori. Studi kasus juga
dapat bermanfaat dalam menggambarkan sifat imanen kehidupan dalam organisasi
dan menemukan perilaku masyarakat yang luar biasa ataupun termasuk peristiwa
rahasia. Hal ini karena untuk memahami konsep oang dalam masyarakat, perlu
pemberian makna dalam penilaian dan bagaimana esensi hubungan tersebut.
3.2 Tahap – tahap penelitian
Proses penelitian ini dapat dibagi
dalam tiga tahap, yaitu tahap sebelum kelapangan, pekerjaan lapangan, dan
pengumpulan data.
1.
Tahap sebelum lapangan meliputi
segala macam persiapan yang di perlukan sebelum terjun kedalam kegiatan
penelitian.
2.
Tahap pekerjaan lapangan
merupakan tahap pemahaman secara bersungguh-sungguh terhadap latar penelitian.
3.
Tahap pengumpulan data
merupakan tindak lanjut dari pekerjaan lapangan yang di peroleh melalui
observasi dadam penelitian.
3.3 Sumber dan jenis data
Sumber data dalam penelitian ini
adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah dat tambahan.
1.
Kat-kata dan tindakan diperoleh
dari orang yang diamati atau di
wawancarai merupakan sumber data primer. Data primer yang diddapat di catat
melalui catatan tertulis.
2.
Sumber tertulis walaupun sumber
data diluar kata dan tindakan merupakan sumber data sekunder, tetapi hal itu
tidak bisa di hindarkan.
3.4 Teknik pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data, diterapkan
teknik-teknik:
1.
Teknik observasi
Pengumpulan data dengan observasi
langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada
pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. Secara umum observasi
dapat di bedakan menjadi dua, yakni: observasi tidak berstruktur yaitu peneliti
tidak mengetahui aspek-aspek apa dari kegiatan-kegiatan yang ingin di amatinya
yang relevan dengan tujuan penelitiannya; dan observasi berstruktur yaitu : peneliti
telah mengetahui aspek-aspek dari aktifitas yang di amatinya relevan dengan
masalah dan tujuan penelitian, (nazir, 1988:214-227).
2.
Teknik wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan responden dengan menggunakan alat yang di namakan panduan wawancara
(singleton, 1988:264).
3.
Teknik Dokumentasi
Analisis terhadap dokumentasi ,
sumber-sumber adminisrasi, dan arsip serta foto sering di pandang sebagai suatu
metode yang lebih sering di gunakan oleh para ahli sejarah, antropologi dan
ahli bahasa dari pada sosiologi atau psikologi.
3.5 Teknik Analisis Dan
Interpretasi data
Analisis data di lakukan dengan
menyajikan kesamaan, perbedaan, keterkaitan, kategori, tema –tema pokok, konsep
,ide dan analisis logika hasil penelitian awal dan kelemahan atau gap dalam
data (kebang,hand out,1996). Analisis data dalam studi kasus ini di bangun
bersama dalam proses interatif. Langkah ini dapat dilakukan serupa dengan pelaksanaan
penelitian groundad. Mendiskripsikan data dilakukan dengan membangun kategori
yang menempatkan prilaku atas proses yang terjadi dengan mengorganisir data
seputaa topik, atau pertanyaan pokok. (cassil dan symon,1994:220).
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Upaya Merubah Citra Birokrasi
Kata “birokrasi,” seringkali dipersepsikan masyarakat
sebagai gambaran buram mengenai prosedur kerja yang berbelit-belit, proses
pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidak efisien dan kurang efektif,
sumber penyalahgunaan wewenang dan semacamnya, kendati memang secara empiris
sulit dibantah adanya keadaan birokrasi yang memanifestasikan hal seperti itu.
Persepsi demikian muncul karena birokrasi sebagai instrumen negara dan
pemerintahan hanya dipandang dan dipahami dari dimensi realitas ketimbang
dimensi netralitas.
Secara kelembagaan, pemberian pelayanan kepada publik
belum sepenuhnya mengembangkan prinsip kompetensi, yakni kemampuan aparat
birokrasi untuk memenuhi dan mengetahui proses pelayanan yang dibutuhkan
pengguna jasa. Pembedaan atas dasar afiliasi sosial kemasyarakatan juga sering
dijumpai dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Dwiyanto, 2002:196-197).
Namun demikian, pemberian layanan tetap saja ditemukan
pembedaan dari aparat birokrasi ditingkat bawah, dimana kecenderungan terjadi,
terlihat semakin tinggi status sosial ekonomi dan semakin dekat (kekerabatan)
seorang pengguna jasa, maka aparat birokrasi semakin ramah dalam melayaninya
Etika pelayanan dalam kinerja pelayanan publik
diperlukan sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat birokrasi terhadap
kepentingan masyarakat pengguna jasa. Kepentingan pengguna jasa harus
ditempatkan sebagai tujuan utama, melalui prinsip pelayanan tersebut diharapkan
tidak terjadi diskriminasi dalam pemberian pelayanan, dan bersikap ramah dalam
memberi pelayanan, sehingga pengguna jasa merasa memperoleh pelayanan yang
sebaik-baiknya. Jika kondisi pelayanan yang demikian diciptakan maka etika
pelayanan publik dapat berjalan sesuai dengan misi aparat birokrasi dan
tuntutan masyarakat pengguna jasa .
4.2
Kepuasan Masyarakat
terhadap pelayanan publik
Masyarakat dalam hubungannya dengan pelayanan
aparatur pemerintah selalu menuntut pemberian pelayanan yang cepat, cermat
maupun ramah. Untuk mencapai pada pelayanan tersebut, pemahaman perilaku
birokrasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu sebagai suatu tindakan individu
bagi keberhasilan organisasi, karena individu yang dapat membawa tatanan
birokrasi, kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, dan pengalaman untuk
mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini lebih menekankan pada pencarian cara
untuk meningkatkan hasil yang efektif, sehingga pelayanan yang diberikan dapat
memuaskan masyarakat dan harus berawal dari aparat birokrasi yang
suka bekerja keras.
Menurut Tjokrowinoto (2001:11), relevansi pemuasan
masyarakat atas pelayanan yang disediakan, perilaku birokrasi perlu
diperhitungkan kompetensinya dengan mengacu pada dua hal yaitu: pertama,
birokrasi harus memberikan pelayanan publik dengan adil, menuntut
kemampuan untuk memahami keadaan masyarakat, mengartikulasikan aspirasi dari
kebutuhan masyarakat, lalu merumuskan dalam suatu kebijakan kemudian
diimplementasikan; kedua, birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk
memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting,
dari pendekatan top down yang menguasai dinamika interaksi
antara birokrasi dengan masyarakat dapat mengalami perubahan menjadi hubungan
horisontal.
4.3
Mal praktek administrasi
Praktek mal-administrasi acapkali timbul karena
bertemunya faktor “niat atau kemauan dan kesempatan”, apabila ada niat
kesempatan tidak ada mal-administrasi tidak akan terjadi, begitu sebaliknya
kesempatan ada namun tidak ada niat maka tindakan mal-administrasi tidak
terjadi.
Ada dua faktor sebagai sumber penyebab timbulnya
mal-administrasi yaitu: pertama, faktor internal yakni faktor
pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, misalnya niat, kemauan,
dan dorongan yang tumbuh dalam pribadi orang; kedua, faktor eksternal
yaitu faktor yang berada diluar diri pribadi orang yang melakukan tindakan
mal-administrasi, misalnya lemahnya peraturan, lemahnya pengawasan, dan
lingkungan kerja yang memungkinkan kesempatan untuk melakukan tindakan
mal-administrasi.
Menurut Widodo (2001:259), mal-administrasi merupakan
suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi yang menjauhkannya dari
pencapaian tujuan administrasi. Sedangkan Nigro dan Nigro dalam (Widodo,
2001:259-262), mengemukakan terdapat delapan bentuk mal-praktek
(mal-administrasi) yaitu :
1.
Ketidak-jujuran (dishonesty),
yaitu suatu tindakan administrasi yang tidak jujur. Misalnya; mengambil uang
dan barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima uang suap dari langganan
(client), menarik pungutan liar, dan sebagainya. Dikatakan ketidak-jujuran
karena tindakan ini berbahaya dan menimbulkan ketidak-percayaan (dis-trust),
dan merugikan kepentingan organisasi atau masyarakat.
2.
Perilaku yang buruk (unethical
behaviour), pegawai (administrator publik) mungkin saja melakukan tindakan
dalam batas-batas yang diperkenankan hukum, tetapi tindakan tersebut dapat
digolongkan sebagai tidak etis, sehingga secara hukum tidak dapat dituntut.
Misalnya, kecendrungan pegawai untuk memenangkan perusahaan koleganya dalam
tender proyek; seorang pembesar minta kepada kepala personalia supaya familinya
diluluskan dalam seleksi pegawai. Tindakan ini jelas tidak etis karena
mengabaikan objektivitas penilaian.
3.
Mengabaikan hukum (disregard
of the law), pegawai (administrator publik) dapat mengabaikan hukum atau membuat
tafsiran hukum yang menguntungkan kepentingannya. Misalnya pegawai
menggunakan mobil dinas untuk keluarga, padahal ia tahu fasilitas kantor yang
secara hukum hanya diperuntukkan bagi pegawai dan hanya untuk kepentingan
dinas.
4.
Favoritisme dalam menafsirkan
hukum. Pejabat atau pegawai di suatu instansi tetap mengikuti hukum yang
berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan kepentingan
tertentu. Misalnya “gubernur” sebagai pembina politik di wilayahnya harus
bersikap netral, namun dalam pemilu sebagai kader partai A merasa terpanggil
memenangkan partai tersebut.
5.
Perlakuan yang tidak adil
terhadap pegawai. Pegawai diperlakukan secara tidak adil. Misalnya bos
menghambat pegawai yang berprestasi karena merasa disaingi.
6.
Inefisiensi bruto (gross
inefficiency). Betapapun bagus maksudnya, jika suatu instansi tidak mampu
melakukan tugas secara memadai, para administrator disitu dinilai gagal,
misalnya pemborosan dana secara berlebihan.
7.
Menutup-nutupi kesalahan.
Pimpinan atau pegawai menutupi kesalahannya sendiri atau bawahannya, atau
menolak diperiksa atau dikontrol oleh legislatif, atau melarang pers meliput
kesalahan instansinya.
8.
Gagal menunjukkan inisiatif.
Sebagian pegawai gagal membuat keputusan yang positif atau menggunakan diskresi
(keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan hukum kepadanya.
Upaya untuk mencegah atau mengatasi tindakan mal-administrasi pada
tubuh birokrasi publik harus berupaya untuk tidak mempertemukan antara
niat dan kesempatan tadi. Maka skala prioritas untuk mencegah dan
mengatasinya adalah dengan cara: pertama, perlu kontrol internal; kedua,
menjunjung tinggi dan menegakkan etika birokrasi pada jajaran birokrasi publik;
ketiga, kontrol eksternal dalam wujud adanya pengawasan baik
pengawasan politik, fungsional maupun pengawasan masyarakat.
4.4
Faktor Pendukung
Etika Pelayanan
Proses pelayanan publik agar dapat mencapai sasaran yang
diinginkan, tentunya harus didukung oleh unsur-unsur yang terkait, yang
merupakan faktor pendukung dari proses pelayanan tersebut. Faktor-faktor
pendukung yang tidak baik, akan dapat menghambat pelayanan itu sendiri.
Adapun faktor-faktor pendukung proses
pelayanan yang semestinya selalu mendapatkan perhatian seksama, diantaranya
adalah :
1.
faktor kesadaran para pejabat
serta petugas yang berkecimpung dalam pelayanan;
2.
faktor aturan yang menjadi
landasan kerja pelayanan;
3.
faktor organisasi yang
merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan
pelayanan;
4.
faktor pendapatan yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup minimum;
5.
faktor ketrampilan petugas; dan
6.
faktor sarana alam pelaksanaan
tugas pelayanan (Moenir, 1992:88).
Dalam proses pelayanan dari suatu organisasi,
faktor-faktor di atas merupakan sistem yang terkait satu sama lain dan saling
melengkapi/mempengaruhi pada keterpaduan. Oleh karenanya kerusakan salah satu
faktor dalam pelayanan akan mempengaruhi etika pelayanan dari organisasi itu
sendiri.
Faktor
kesadaran mencakup kesadaran para pejabat dan
petugas yang berkecimpung dalam tugas pelayanan menunjukkan suatu keadaan pada
jiwa seseorang yaitu merupakan titik temu atau equilibrium dari
berbagai pertimbangan sehingga diperoleh suatu keyakinan, ketenangan, ketetapan
hati dan keseimbangan dalam jiwa yang bersangkutan. Moenir (1992:89) merumuskan
bahwa kesadaran adalah “Suatu proses berpikir melalui metode renungan,
pertimbangan dan perbandingan, sehingga menghasilkan keyakinan, ketenangan,
ketetapan hati dan keseimbangan dalam jiwanya sebagai pangkal tolak untuk
perbuatan dan tindakan yang akan dilakukan”. Adanya kesadaran dapat membawa
seseorang kepada keikhlasan dan kesungguhan dalam menjalankan atau melaksanakan
suatu kehendak. Dalam suatu organisasi kehendak tersebut tertuang dalam bentuk
tugas, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengikat semua orang dalam
organisasi. Sehingga proses pelayanan dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan
disiplin tercermin dalam tingkah laku dan perbuatannya.
Aturan merupakan perangkat yang amat penting dalam segala tindakan dan
perbuatan orang apalagi dalam organisasi. Aturan harus dibuat untuk dipatuhi
agar sasaran dapat tercapai sesuai dengan maksudnya. Aturan organisasi akan
mengarahkan pegawai untuk disiplin dalam perwujudan kerja.
Faktor struktur dan mekanisme kerja dalam mencapai tujuan organisasi yaitu pelayanan yang memadai bukan
hanya semata-mata sebagai perwujudan susunan organisasi, melainkan menekankan
pada pengaturan dan mekanisme kerja untuk menghasilkan pelayanan yang memadai
dan perlu didukung oleh sistem, prosedur, dan metode.
Sistem merupakan hal
yang cukup menentukan dalam proses pelayana, karena sistem merupakan
suatu rangkaian komponen yang membentuk kesatuan yang utuh, saling tergantung
dan mempengaruhi dalam suatu keterpaduan untuk mencapai suatu tujuan
organisasi. Dengan demikian sistem dalam organisasi harus dijaga agar
mekanismenya berjalan sebagaimana mestinya. Agar organisasi sebagai suatu
sistem dapat berfungsi dengan baik perlu ada job description secara
terinci agar setiap aparat dapat melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan
baik.
Dalam penyelenggaran pelayanan prosedur dan
metode amat penting dalam menentukan kelancaran dalam mencapai tujuan
organisasi. Prosedur adalah rangkaian tindakan/langkah yang harus diikuti dalam
usaha mencapai tujuan atau suatu tata cara kerja yang sah. Sedangkan metode
adalah memiliki batasan yang lebih sempit dari prosedur yaitu hanya berlaku
pada satu unit saja. Jadi metode adalah cara yang dilakukan seseorang untuk
menyelesaikan suatu tahap dari rangkaian pekerjaan yang paling mudah dan
efisien diantara beberapa cara yang ada. Namun cara termudah dan efisien
dimaksud sesuai dengan prosedur.
Faktor lain adalah pendapatan pegawai.
Pendapatan adalah seluruh penerimaan seseorang sebagai imbalan atas
tenaga dan atau pikiran yang telah dicurahkan untuk orang lain atau organisasi
yang diperoleh dari organisasi tempat kerja sesuai dengan kedudukan dan
peranannya dalam organisasi. Pendapatan haruslah dapat memenuhi kebutuhan hidup
baik untuk sendiri maupun keluarga. Pendapatan merupakan faktor pendukung dalam
penyelenggaraan pelayanan, karena tujuan orang bekerja adalah untuk mendapatkan
imbalan yang sepadan untuk memenuhi kehidupannya. Apabila pendapatan
tidak mencukupi maka dalam pelaksanaan pelayanan mereka diliputi rasa resah dan
tidak tenang, sehingga pelayanan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Faktor kemampuan dan ketrampilan merupakan hal
penting dalam mendukung proses pelayanan. Karena dengan kemampuan dan
ketrampilan yang memadai, pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan efektif
dan efisien.
Sarana pelayanan merupakan faktor penting pula dalam pelayanan karena
berfungsi sebagai alat utama membantu pelaksanaan pekerjaan. Sarana pelayanan
dimaksud ada dua macam yaitu sarana kerja dan fasilitas. Sarana kerja meliputi
peralatan, perlengkapan, dan alat bantu. Sedangkan fasilitas meliputi gedung
dengan segala perlengkapannya.
Adanya dukungan dari factor-faktor di atas dalam
pelayanan publik tentunya diharapkan dapat memenuhi harapan yang didambakan
oleh setiap orang yang membutuhkan pelayanan. Dambaan itu diantaranya
adalah :
1.
kemudahan dalam pengurusan
kepentingan;
2.
mendapatkan pelayanan yang
wajar;
3.
mendapatkan perlakuan yang sama
tanpa pilih kasih;
4.
mendapatkan perlakuan yang
jujur dan terus terang (Moenir, 1992:47).
Pemberian pelayanan yang baik dan memuaskan kepada
manajemen maupun masyarakat, tentunya akan muncul suatu dampak yang positif di
masyarakat yaitu :
1.
masyarakat menghargai korps
pegawai;
2.
masyarakat patuh terhadap
aturan-aturan pelayanan;
3.
masyarakat bangga terhadap
korps pegawai;
4.
ada kegairahan usaha dalam
masyarakat;
5.
ada peningkatan dan
pengembangan dalam masyarakat menuju segera tercapainya masyarakat adil dan
makmur (Moenir, 1992:47).
4.5
Pemimpin Etis
Organisasi merupakan sistem kegiatan terkoordinasi dari
kelompok orang yang bekerjasama mengarah pada tujuan bersama di bawah
kewenangan dan kepemimpinan. Siagian (1988:24), memberi pengertian kepemimpinan
sebagai kemampuan dan ketrampilan seeorang yang menduduki jabatan sebagai
pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain, terutama
bawahannya, untuk berpikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melalui
perilaku yang positif ia memberikan sumbangsih nyata dalam pencapaian tujuan
organisasi. Selanjutnya, Minzberg (Davis,1993:152), menyatakan: ”Kepemimpinan
adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias
mencapai tujuan”.
Peran moral kepemimpinan dalam upaya membantu
pelaksanaan pelayanan publik yang baik sangatlah besar, sebagaimana diungkapkan
oleh Putra Fadillah (2001:34), bahwa moral kepemimpinan pejabat publik untuk
berbuat baik dalam pelayanan publik dan mematuhi norma hukum yang berlaku akan
mewujudkan jati diri birokrasi dan pelayanan publik yang sejati.
Masyarakat modern berkepentingan dengan kepemimpinan
yang baik, dan mampu menuntun organisasi sesuai dengan asas-asas manajemen
modern, sekaligus juga bersedia memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada
bawahan dan masyarakat luas. Luasnya kegiatan manusia modern, dirasakan perlu
ada pemimpin-pemimpin yang efektif dan baik budi pekertinya. Dengan demikian
kepemimpinan etis diperlukan dan penting dalam sebuah organisasi, karena
memiliki alasan sebagai berikut:
1.
Berguna untuk memandu,
menuntun, membimbing, membangun, memberi atau membangun motivasi-motivasi
kerja, dan mengemudikan organisasi sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat
tercapai.
2.
Menjalin jaringan-jaringan
komunikasi yang baik, memberikan pengawasan yang efesien, dan membawa para
pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju sesuai dengan ketentuan waktu dan
perencanaan.
3.
Menunjukkan kepemimpinan yang
etis sebagai salah satu hal, penting untuk menunjukkan moral yang baik dalam
proses penyelenggaraan pelayanan publik, berdasarkan nilai-nilai, norma-norma,
aturan-aturan yang berlaku, sehingga dijadikan panutan dan dapat di ikuti oleh
bawahan dalam melaksanakan tugasnya.
4.6
Kondisi Pelayanan.
Hasil kajian tentang etika pelayanan publik di Instansi
teknis di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar dalam hal pengurusan
KTP yang dilakukan oleh Sudana (2003) disimpulkan etika pelayanan belum optimal
diterapkan dalam pelayanan publik. Hal ini dapat dilihat: pertama,
lemahnya penerapan kode etik aparat dalam pelayanan, yang terindikasi dari
adanya tindakan-tindakan yang menyimpang dalam memberikan pelayanan. Beberapa
oknum aparat kadang-kadang menawarkan diri sebagai biro jasa atau calo
yang mengarah kepada tindakan terjadinya korupsi; kedua, rendahnya
kesadaran aparat birokrasi akan tanggung jawab dan disiplin dalam proses
pelayanan, dan masih adanya tindakan diskriminasi pelayanan yang mengarah pada
unsur nepotisme; ketiga, etika birokrasi dalam pelayanan publik masih
sangat jauh dari yang diharapkan. Fenomena pemberian pelayanan ini terlihat.
Seperti tindakan aparat yang mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan
wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran terhadap aturan yang
ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan. Dengan demikian,
masyarakat pengguna jasa dirugikan dalam pelayanan secara komprehensif.
Lemahnya penerapan etika dalam pelayanan publik juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1.
Pengawasan.
Mekanisme pengawasan yang berfungsi sebagai antisipasi
terhadap adanya tindakan-tindakan penyimpangan dalam penegakan etika pelayanan
di Dinas tersebut dapat dinilai belum berjalan dengan baik dalam artian
pengawasannya lemah. Hal ini terjadi karena: pertama, berkaitan
pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan pelaksanaannya monoton,
hanya dilakukan pada saat apel, bukan pada saat jam-jam pelayanan. Dan
sebaliknya saran dan kritik yang dilakukan bawahan terhadap atasan hanya ditampung
saja tidak ditindak lanjuti oleh atasan; kedua, pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap organisasi tersebut tidak mendapat respon
dari pihak-pihak yang berkompeten dalam organisasi ini, sehingga tidak ada
umpan balik dalam mengevaluasi program selanjutnya, dan pengawasan yang
melibatkan masyarakat secara langsung sebagai kekuatan bagi mekanisme chek
and balances dalam proses penyelenggaraan negara menjadi sia-sia. Seperti
pepatah lama ‘bagaikan anjing menggongong kafilah tetap berlalu’.
2 Konsitensi Aparat Birokrasi.
Aparat belum memiliki konsistensi dalam penerapan etika
pelayanan publik. Dalam artian, masih lemahnya kesadaran aparat birokrasi dalam
penegakkan etika pelayanan publik. Hal ini terjadi karena: pertama,
ketetapan aparat dalam bertindak yang sesuai aturan dengan pelayanan secara
faktual terdapat kesenjangan; kedua, masih rendahnya rasa memiliki
terhadap organisasi di tempat mereka bekerja, sehingga berimplikasi kepada
pekerjaan yang dilakukan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh berdasarkan
hati nurani.
3. Komunikasi
Komunikasi belum berjalan efektif karena komunikasi yang
telah dilakukan oleh pihak aparat dalam mensosialisasikan aturan seperti
melalui penyebaran brosur, media cetak, dan melalui penyuluhan-penyuluhan langsung
ke masyarakat belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini disebabkan oleh
minimnya tenaga penyuluh yang dimiliki oleh instansi yang bersangkutan, luasnya
jangkuan wilayah penyuluhan,disamping adanya sikap apatis masyarakat dalam
merespon informasi yang sebenarnya diperlukan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian kami
tersebut dapat kami tarik beberapa kesimpulan antara lain:
1.
Otonomi membutuhkan pelayanan
yang cepat, tepat, dekat, murah.
2.
Etika seringkali tidak dipaham.
3.
Etika pelayanan tidak
dijalankan
4.
Masih banyak terjadi
mal-administrasi
5.
Memerlukan dukungan semua
pihak, sarana prasarana maupun panutan kepemimpinan.
6.
Kepuasaan masyarakat masih
kurang terhadap pelayanan yang diberikan birokrasi.
5.2 Saran-saran
- sosilalisasikan etika pelayanan publik
- perbaiki sistem rekruitmen
- berikan sanksi yang tegas dan penghargaan yang sesuai
.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 1977. Etika. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dwiyanto Agus, Partini, Ratminto, Wicaksono Bambang, Tamtiari Wini,
Kusumasari Bevaola, dan Nuh Muhamad. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia .
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), UGM., Yogyakarta.
Gie, The Liang. 1986. Etika pemerintahan. Yayasan
Obor, Jakarta.
.——–.1998. Kode Etik Bagi Petugas Pemerintahan, Bahan
Pemikiran Untuk Membina Pegawai Negeri yang Bersih dan Berwibawa.
Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB), Yogyakarta ..
Zauhar, Soesilo. 1996. Reformasi Administrasi Konsep,
Dimensi, dan Strategi. Bumi Aksara, Jakarta.



Posted in: