Upaya Mewujudkan Birokrasi yang Mengedepankan Etika Pelayanan Publik

Upaya untuk mewujudkan cita-cita nasional memerlukan kesungguhan untuk menegakkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu, untuk menuju ke arah demokrasi adalah merupakan sebuah proses (demokratisasi) yang panjang, bibit-bibitnya perlu disemai, dipelihara, dipupuk dan dikembangkan, sehingga dapat menjadi dewasa dan berkembang secara mandiri. Untuk itu, sangatlah diperlukan adanya kesadaran dari berbagai komponen bangsa ini untuk selalu bersikap dan berperilaku demokratis.
Berubah sikap dan perilaku menjadi seorang demokrat tidaklah semudah membalikan telapak tangan, karena ada satu hal yang sulit dipungkiri bahwa manusia itu pada dasarnya adalah konservatif, sehingga ada kecenderungan ingin mempertahankan segala sesuatu yang sudah biasa dilakukan – sekalipun itu sebuah kebiasaan yang jelek. Adapun tantangan terbesar yang harus dihadapi ke depan adalah diperlukan adanya perubahan perilaku (shifting of behaviour) yang sejalan dan konsisten dengan agenda reformasi dan tidak terjebak untuk mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu.
Transformasi ke arah demokrasi sebenarnya mengandung pengertian pergeseran dari suatu sistem nondemokratis (apapun bentuknya) ke arah sistem yang demokratis. Dalam banyak peristiwa, termasuk kasus Indonesia, transformasi ke arah demokrasi hampir selalu berkaitan dengan perubahan dari hubungan yang memiliki karakter zero-sum dalam artian negara sangat kuat dan masyarakat sipil sangat lemah, berubah menjadi hubungan yang positive-sum.
Di lihat dari sudut pandang Ilmu Politik, reformasi sama dengan demokratisasi dengan tujuan akhir membentuk Clean Government dan Good Governance (Imawan, 2000). Clean Government yang dimaksudkan adalah suatu bentuk atau struktur pemerintahan yang menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat, serta menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Untuk itu sangat diperlukan adanya:
1.      Pemerintah yang dibentuk atas kehendak orang banyak;
2.      Struktur organisasi pemerintah yang tidak kompleks, dalam rangka untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan tanggung jawab aparat;
3.      Mekanisme politik yang menjamin hubungan konsultatif antara negara dan warga negara;
4.      Mekanisme saling mengontrol antar aktor-aktor di dalam infra maupun supra struktur politik.
Good Governance yang dimaksudkan adalah adanya satu mekanisme kerja, dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan sosial dan pemerintah mampu secara maksimal melaksanakan tiga fungsi dasarnya (service, development, empowerment). Untuk itu diperlukan adanya:
1.      Perlindungan yang nyata terhadap “ruang & wacana” publik;
2.      Mengakui dan menghormati kemajemukan politik, dalam rangka mendorong partisipasi dan mewujudkan desentralisasi;
3.      Pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator dan advokator kepentingan publik.



1.2  Identifikasi Masalah
Mengingat banyaknya permasalahan yang ada dalam judul yang kami bahas ini maka kami berusaha untuk melekukan pengidentifikasian masalah yang menyangkut dengan judul penelitian kami, dengan tujuan agar permasalahan yang kami bahas tidak jauh menyimpang dengan judul penelitian. Yaitu permasalahan seputar bagaimana kualitas pelayanan public di Bali.

1.3  Pembatasan Masalah
Terkait dengan identifikasi masalah diatas maka kami juga melakukan pembatasan masalah mengingat dengan keterbatasan penelitian yang kami lakukan, serta untuk menghindari kemungkinan terjadinya bias terhadap judul yang penelitian kami.

1.4   Rumusan Masalah
Terkait dengan judul penelitian kami yaitu ‘MEWUJUDKAN BIROKRASI YANG MENGEDEPANKAN ETIKA PELAYANAN PUBLIK   dalam penelitian ini antara lain:
·         Bagaimana wajah birokrasi di bali ?
·         Bagaimana kualitas pelayanan publiknya ?
·         Apa kelemahan birokrasi dalam memberikan pelayanan public ?
·         Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap birokrasi dan pelayanan public?





1.5  Tujuan dan kegunaan penelitian
·         Tujuan umum
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan masyarakat tentang  kualitas pelayanan pulik apakah sudah sesuai etika administrasi  atau tidak , serta pemahaman terhadap birokrasi yang diterapkan selama ini.
·         Tujuan khusus
Kegunaan dari nenelitian ini yaitu memenuhi salah perguruan tinggi yaitu mengadakan penelitian, serta untuk meningkatan kualitas mahasiswa khususnya dalam bidang pembuatan karya ilmiah. Selain itu juga untuk dapat memperoleh akreditasi bagi kampus universitas mahendradatta khususnya fakultas ilmu sosial dan ilmu politik.











BAB II
TINAJAUAN PUSTAKA
2.1  Birokrasi sebagai pelayan publik
Birokrasi memang diharapkan berperan besar dalam pelaksanaan seluruh rencana negara yang telah diputuskan dalam kebijakan publik. Namun dalam praktek pemerintahan negara – peran birokrasi seringkali diragukan untuk dapat menghidupkan dan mendinamisasikan proses demokratisasi, karena sifat birokrasi manapun pasti tidak dinamis (Suseno, 1992). Bahkan Sutoro Eko (2003) menyatakan bahwa raksasa birokrasi Indonesia yang tidak bermutu, justru menjadi beban yang sangat berat bagi negara dan masyarakat. Birokrasi Indonesia adalah institusi yang lebih banyak menghabiskan ketimbang menghasilkan. Sebagai sarang korupsi dan pencurian, birokrasi adalah penyumbang terbesar krisis finansial negara. Benar-benar sebuah ironi yang konyol kalau negara menderita krisis tetapi para pengelolanya bisa hidup kaya dan mewah.
Adanya perubahan paradigma yang berpusat pada rakyat dan sejalan dengan perubahan paradigma dari UU No. 5 tahun 1974 yang menggunakan “The structural efficiency model”, menuju UU No. 22 Tahun 1999 dan selanjutnya diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan  “The local democracy model”. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di daerah. Semangat otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya memandirikan Pemerintah Daerah dalam menjalankan dan menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di daerah. Untuk itu Pemerintah Daerah haruslah selalu tanggap dalam merespon serta menyikapi kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Dengan pelaksanaan otonomi daerah diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan lebih murah.
Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin dinamis, sejalan dengan tingkat kehidupan yang semakin baik, telah meningkatkan kesadarannya akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Masyarakat yang semakin kritis dan berani untuk mengajukan keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta melakukan kontrol atas kinerja pemerintah. Masyarakat  semakin berani menuntut birokrasi publik untuk mengubah posisi dan perannya (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik. Kebiasaan suka mengatur dan memerintah mesti diubah menjadi suka melayani, dari yang lebih suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong, semuanya menuju ke arah  fleksibelitas, kolaboratis dan dialogis, dan menghilangkan  cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1988:119).
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efesien, serderhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif, adaptif dan sekaligus  dapat membangun “kualitas manusia” dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi, 1986:213)
Dengan demikian sangatlah menarik untuk dikaji lebih lanjut permasalahan yang berkaitan dengan fokus orasi ilmiah ini, yakni: “Bagaimanakah kemampuan birokrasi yang mengedepankan etika pelayanan publik dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan demokrasi?”



2.2  Pelayanan Birokrasi yang Profesional
Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut dengan pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya (Rasyid, 1998:139).
Dalam paradigma “dikotomi politik dan administrasi” seperti dikemukakan oleh Wilson, dalam Widodo (2001:245), menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut.
Dengan demikian, kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan untuk melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi negara. Namun karena administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik memiliki kewenangan secara umum disebut “discretionary power”, yakni keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan “secara baik dan tidak secara buruk”.
Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk.
Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188), mengatakan bahwa: “Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat”. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
Sementara pemahaman pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga maksud dari public service tersebut demi mensejahterakan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut,  Widodo (2001:269) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

2.3  Etika dan Konsep Etika Pelayanan Publik
Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua fungsi, yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, refrensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas  dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
Beberapa konsep mengenai etika pelayanan publik dapat disimak dari  pendapat-pendapat  berikut ini.
1.      Etika pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik” (Kumorotomo, 1996:7).
2.      Lebih lanjut dikatakan oleh Putra Fadillah (2001:27), etika   pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik”.
3.      Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188): ”Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas”.
4.      Darwin (1999) mengartikan etika birokrasi  (administrasi negara) sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia organisasi.  Selanjutnya dikatakan bahwa etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas  dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain: efesiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness.
5.      Menurut Widodo (2001:241), Etika administrasi negara adalah merupakan wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara.
2.4  Prinsip-prinsip Etika Pelayanan Publik
Etika administrasi negara dari American society for Public Administration (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara), menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut:
1.      Pelayanan terhadap publik harus diutamakan;
2.      Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan publik secara mutlak bertanggung jawab kepadanya;
3.      Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum atau peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari cara terbaik untuk memberi pelayanan publik;
4.      Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi administrator publik. Penyalahgunaan, pemborosan, dan berbagai aspek yang merugikan tidak dapat ditolerir;
5.      Sistem merit  dan kesempatan kerja yang sama harus didukung, diimplementasikan dan dipromosikan;
6.      Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan;
7.      Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empathy merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus dipromosikan;
8.      Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih alternatif keputusan;
9.      Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran (Wachs, 1985).
Selanjutnya asas-asas  etika itu dituangkan dalam sebuah kode etika yang memuat 5 asas etika dan 7 asas mutu yang wajib di indahkan dan dijalankan oleh para anggota perhimpunan yang menjadi administrator negara, yaitu sebagai berikut :
1.      Menunjukkan ukuran baku tertinggi tentang keutuhan watak   pribadi, kebenaran, kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan umum, agar supaya membangkitkan keyakinan dan kepercayaan rakyat terhadap pranata-pranata negara;
2.      Menghindari sesuatu kepentingan atau kegiatan yang berada dalam pertentangan dengan penuaian dari kewajiban-kewajiban resmi;
3.      Mendukung, melaksanakan, dan memajukan penempatan tenaga kerja menurut penilaian kecakapan serta tata-acara tindakan yang tidak membeda-bedakan guna menjamin kesempatan yang sama pada penerimaan, pemilihan, dan kenaikan pangkat  terhadap orang-orang yang memenuhi persyaratan dari segenap unsur masyarakat;
4.      Menghapuskan semua pembedaan tak sah, kecurangan, dan salah pengurusan keuangan negara serta mendukung rekan-rekan kalau mereka berada dalam kesulitan karena usaha yang bertanggungjawab untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan, salah urus, atau salah penggunaan yang demikian;
5.      Melayani masyarakat secara hormat, penuh perhatian, sopan, dan tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri;
6.      Berjuang kearah keunggulan berkeahlian perseorangan dan menganjurkan pengembangan berkeahlian dan termasuk mereka yang berusaha memasuki bidang administrasi negara;
7.      Menghampiri tugas organisasi dan kewajiban-kewajiban kerja dengan suatu sikap yang positif dan secara membangun mendukung tata hubungan yang terbuka, daya cipta, pengabdian, dan welas asih;
8.      Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang dapat diperoleh dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi;
9.      Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang dimiliki menurut hukum untuk memajukan kepentingan umum atau masyarakat;
10. Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan menangani urusan masyarakat dengan kecakapan berkeahlian, kelayakan, sikap tak memihak, efisiensi, dan daya guna;
11. Menghormati, mendukung, menelaah, dan bilamana perlu berusaha untuk menyempurnakan konstitusi-konstitusi negara serikat dan negara bagian serta hukum-hukum lainnya yang mengatur hubungan-hubungan diantara badan-badan pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan semua warga negara (Gie,1998:31-41).

2.5  Pelayanan dan Konsep Pelayanan
Setiap kehidupan bermasyarakat, manusia pasti memerlukan pelayanan dari orang lain, baik pelayanan fisik maupun pelayanan administratif. Kaitannya dengan pelayanan publik maka dalam hal ini birokrasi sebagai abdi negara, abdi masyarakat adalah sebagai aparat pelaksana pelayanan (public service) merupakan salah satu fungsi yang diselenggarakan dalam rangka penyelenggaraan administrasi negara.
Sianipar (1998:5) mengatakan bahwa pelayanan didefinisikan sebagai cara melayani, membantu, menyiapkan, dan mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau sekolompok orang, artinya objek yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi, dan kelompok-kelompok organisasi.
Sedangkan Moenir (1992), mengatakan pelayanan adalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas yang dilakukan oleh orang lain secara langsung. Menurutnya secara garis besar, pelayanan yang diperlukan oleh manusia pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu “pelayanan fisik yang sifatnya pribadi sebagai manusia” dan “pelayanan administrative yang diberikan oleh orang lain selaku anggota organisasi”. Lebih lanjut dikatakan pada hakekatnya, pelayanan adalah serangkaian kegiatan, karena itulah ia merupakan proses. Sebagai proses, “pelayanan” berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, yang meliputi seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat.
.









BAB III
METOLOGI PENELITIAN


3.1  Pendekatan penelitian
Beberapa karakteristik penting yanng ada dalam jenis penelitian ini, seperti yang dikemukakan oleh cassill dan symon (1994:4-6) adalah: 1) mempertimbangkan apa yang di anggap bisa dipahami untuk mengurangi quantifeable term; 2) Kurang begitu memberi tekanan pada pembatasan apriori clasification; 3) Memberikan flasibilitas dalam penelitian;4)Cukup sensitif untuk memberikan analisis yang terperici terhadap sebuah perusahaan; 5) Bisa berlangsung hnya pada natural setting, sehingga bisa memberikan pandngan secara holistik terhadap situasi atau organisasi yang diamati; 6) Fokus study adalah pemahaman terhadap ‘life world’ dari individu; 7) Penelitian harus bertindak pro aktif dalam mendefinisikan persoalan-persoalan penting dalam hubungan dengan penelitian.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah kualitatif yaitu studi kasus dalam masyarakat. Pilihan terhadap studi kasus didasari oleh pertimbangan karena ini biasanya dipergunakan dalam studi perilaku masyarakat, kususnya dalam mengkaji respon masyarakat. Kekuatan studi semacam ini terletak pada kapasitasnya menyelidiki proses sosial dalam masyarakat. Denagan menggunakan metode kualitatif termasuk obserfasi, peneliti dapat belajar banyak tentang proses dari pada menggunakan teknik lainnya, seperti survai (cassel dan symon, 1994; 209). Studi kasus juga bermanfaat bila di pergunakan untuk menentukan proses perilaku yang baru atau sesuatu pemahaman yang sempit. Dalam hal ini studi kasus memiliki fungsi penting dalam menghasilkan hipotesis dan pembentukan teori. Studi kasus juga dapat bermanfaat dalam menggambarkan sifat imanen kehidupan dalam organisasi dan menemukan perilaku masyarakat yang luar biasa ataupun termasuk peristiwa rahasia. Hal ini karena untuk memahami konsep oang dalam masyarakat, perlu pemberian makna dalam penilaian dan bagaimana esensi hubungan tersebut.

3.2  Tahap – tahap penelitian
Proses penelitian ini dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap sebelum kelapangan, pekerjaan lapangan, dan pengumpulan data.
                                 1.         Tahap sebelum lapangan meliputi segala macam persiapan yang di perlukan sebelum terjun kedalam kegiatan penelitian.
                                 2.         Tahap pekerjaan lapangan merupakan tahap pemahaman secara bersungguh-sungguh terhadap latar penelitian.
                                 3.         Tahap pengumpulan data merupakan tindak lanjut dari pekerjaan lapangan yang di peroleh melalui observasi dadam penelitian.

3.3  Sumber dan jenis data
Sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah dat tambahan.
                                 1.         Kat-kata dan tindakan diperoleh dari orang yang diamati  atau di wawancarai merupakan sumber data primer. Data primer yang diddapat di catat melalui catatan tertulis.
                                 2.         Sumber tertulis walaupun sumber data diluar kata dan tindakan merupakan sumber data sekunder, tetapi hal itu tidak bisa di hindarkan.

3.4  Teknik pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data, diterapkan teknik-teknik:
                                 1.         Teknik observasi
Pengumpulan data dengan observasi langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. Secara umum observasi dapat di bedakan menjadi dua, yakni: observasi tidak berstruktur yaitu peneliti tidak mengetahui aspek-aspek apa dari kegiatan-kegiatan yang ingin di amatinya yang relevan dengan tujuan penelitiannya; dan observasi berstruktur yaitu : peneliti telah mengetahui aspek-aspek dari aktifitas yang di amatinya relevan dengan masalah dan tujuan penelitian, (nazir, 1988:214-227).
                                 2.         Teknik wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden dengan menggunakan  alat yang di namakan panduan wawancara (singleton, 1988:264).
                                 3.         Teknik Dokumentasi
Analisis terhadap dokumentasi , sumber-sumber adminisrasi, dan arsip serta foto sering di pandang sebagai suatu metode yang lebih sering di gunakan oleh para ahli sejarah, antropologi dan ahli bahasa dari pada sosiologi atau psikologi.

3.5  Teknik Analisis Dan Interpretasi data
Analisis data di lakukan dengan menyajikan kesamaan, perbedaan, keterkaitan, kategori, tema –tema pokok, konsep ,ide dan analisis logika hasil penelitian awal dan kelemahan atau gap dalam data (kebang,hand out,1996). Analisis data dalam studi kasus ini di bangun bersama dalam proses interatif. Langkah ini dapat dilakukan serupa dengan pelaksanaan penelitian groundad. Mendiskripsikan data dilakukan dengan membangun kategori yang menempatkan prilaku atas proses yang terjadi dengan mengorganisir data seputaa topik, atau pertanyaan pokok. (cassil dan symon,1994:220).




BAB IV
PEMBAHASAN

4.1  Upaya Merubah Citra Birokrasi                                       
Kata “birokrasi,” seringkali dipersepsikan masyarakat sebagai gambaran buram mengenai prosedur kerja yang berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidak efisien dan kurang efektif, sumber penyalahgunaan wewenang dan semacamnya, kendati memang secara empiris sulit dibantah adanya keadaan birokrasi yang memanifestasikan hal seperti itu. Persepsi demikian muncul karena birokrasi sebagai instrumen negara dan pemerintahan hanya dipandang dan dipahami dari dimensi realitas ketimbang dimensi netralitas.
Secara kelembagaan, pemberian pelayanan kepada publik belum sepenuhnya mengembangkan prinsip kompetensi, yakni kemampuan aparat birokrasi untuk memenuhi dan mengetahui proses pelayanan yang dibutuhkan pengguna jasa. Pembedaan atas dasar afiliasi sosial kemasyarakatan juga sering dijumpai dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Dwiyanto, 2002:196-197).
Namun demikian, pemberian layanan tetap saja ditemukan pembedaan dari aparat birokrasi ditingkat bawah, dimana kecenderungan terjadi, terlihat semakin tinggi status sosial ekonomi dan semakin dekat (kekerabatan) seorang pengguna jasa, maka aparat birokrasi semakin ramah dalam melayaninya
Etika pelayanan dalam kinerja pelayanan publik diperlukan sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat birokrasi terhadap kepentingan masyarakat pengguna jasa. Kepentingan pengguna jasa harus ditempatkan sebagai tujuan utama, melalui prinsip pelayanan tersebut diharapkan tidak terjadi diskriminasi dalam pemberian pelayanan, dan bersikap ramah dalam memberi pelayanan, sehingga pengguna jasa merasa memperoleh pelayanan yang sebaik-baiknya. Jika kondisi pelayanan yang demikian diciptakan maka etika pelayanan publik dapat berjalan sesuai dengan misi aparat birokrasi dan tuntutan masyarakat pengguna jasa .
4.2  Kepuasan Masyarakat terhadap pelayanan publik
Masyarakat  dalam hubungannya dengan pelayanan aparatur pemerintah selalu menuntut pemberian pelayanan yang cepat, cermat maupun ramah. Untuk mencapai pada pelayanan tersebut, pemahaman perilaku birokrasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu sebagai suatu tindakan individu bagi keberhasilan organisasi, karena individu yang dapat membawa tatanan birokrasi, kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, dan pengalaman untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini lebih menekankan pada pencarian cara untuk meningkatkan hasil yang efektif, sehingga pelayanan yang diberikan dapat memuaskan  masyarakat dan harus berawal dari  aparat birokrasi yang suka bekerja keras.
Menurut Tjokrowinoto (2001:11), relevansi pemuasan masyarakat atas pelayanan yang disediakan, perilaku birokrasi perlu diperhitungkan kompetensinya dengan mengacu pada dua hal yaitu: pertama,  birokrasi harus memberikan pelayanan publik  dengan adil, menuntut kemampuan untuk memahami keadaan masyarakat, mengartikulasikan aspirasi dari kebutuhan masyarakat, lalu merumuskan dalam suatu kebijakan kemudian diimplementasikan; kedua, birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting, dari  pendekatan top down yang menguasai dinamika interaksi antara birokrasi dengan masyarakat dapat mengalami perubahan menjadi hubungan horisontal.
4.3  Mal praktek administrasi
Praktek mal-administrasi acapkali timbul karena bertemunya faktor “niat atau kemauan dan kesempatan”, apabila ada niat kesempatan tidak ada mal-administrasi tidak akan terjadi, begitu sebaliknya kesempatan ada namun tidak ada niat maka tindakan mal-administrasi tidak terjadi.
Ada dua faktor sebagai sumber penyebab timbulnya mal-administrasi yaitu: pertama, faktor internal yakni  faktor pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, misalnya niat, kemauan, dan dorongan yang tumbuh dalam pribadi orang; kedua, faktor eksternal yaitu faktor yang berada diluar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, misalnya lemahnya peraturan, lemahnya pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi.
Menurut Widodo (2001:259), mal-administrasi merupakan suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi yang menjauhkannya dari pencapaian tujuan administrasi. Sedangkan Nigro dan Nigro dalam (Widodo, 2001:259-262), mengemukakan terdapat delapan bentuk mal-praktek (mal-administrasi) yaitu :
1.      Ketidak-jujuran (dishonesty), yaitu suatu tindakan administrasi yang tidak jujur. Misalnya; mengambil uang dan barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima uang suap dari langganan (client), menarik pungutan liar, dan sebagainya. Dikatakan ketidak-jujuran karena tindakan ini berbahaya dan menimbulkan ketidak-percayaan (dis-trust), dan merugikan kepentingan organisasi atau masyarakat.
2.      Perilaku yang buruk (unethical behaviour), pegawai (administrator publik) mungkin saja melakukan tindakan dalam batas-batas yang diperkenankan hukum, tetapi tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis, sehingga secara hukum tidak dapat dituntut. Misalnya, kecendrungan pegawai untuk memenangkan perusahaan koleganya dalam tender proyek; seorang pembesar minta kepada kepala personalia supaya familinya diluluskan dalam seleksi pegawai. Tindakan ini jelas tidak etis karena mengabaikan objektivitas penilaian.
3.      Mengabaikan hukum (disregard of the law), pegawai (administrator publik) dapat mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang menguntungkan  kepentingannya. Misalnya pegawai menggunakan mobil dinas untuk keluarga, padahal ia tahu fasilitas kantor yang secara hukum hanya diperuntukkan bagi pegawai dan hanya untuk kepentingan dinas.
4.      Favoritisme dalam menafsirkan hukum. Pejabat atau pegawai di suatu instansi tetap mengikuti hukum yang berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan kepentingan tertentu. Misalnya “gubernur” sebagai pembina politik di wilayahnya  harus bersikap netral, namun dalam pemilu sebagai kader partai A merasa terpanggil memenangkan partai tersebut.
5.      Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai. Pegawai diperlakukan secara tidak adil. Misalnya bos menghambat pegawai yang berprestasi karena merasa disaingi.
6.      Inefisiensi bruto (gross inefficiency). Betapapun bagus maksudnya, jika suatu instansi tidak mampu melakukan tugas secara memadai, para administrator disitu dinilai gagal, misalnya pemborosan dana secara berlebihan.
7.      Menutup-nutupi kesalahan. Pimpinan atau pegawai  menutupi kesalahannya sendiri atau bawahannya, atau menolak diperiksa atau dikontrol oleh legislatif, atau melarang pers meliput kesalahan instansinya.
8.      Gagal menunjukkan inisiatif. Sebagian pegawai gagal membuat keputusan yang positif atau menggunakan diskresi (keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan hukum kepadanya.
Upaya untuk mencegah atau mengatasi tindakan mal-administrasi pada tubuh birokrasi publik harus berupaya untuk tidak mempertemukan  antara niat dan kesempatan tadi.  Maka skala prioritas untuk mencegah dan mengatasinya adalah dengan cara: pertama, perlu kontrol internal; kedua, menjunjung tinggi dan menegakkan etika birokrasi pada jajaran birokrasi publik; ketiga, kontrol eksternal dalam wujud adanya pengawasan baik pengawasan politik, fungsional maupun pengawasan masyarakat.
4.4  Faktor Pendukung Etika Pelayanan
Proses pelayanan publik agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan, tentunya harus didukung oleh unsur-unsur yang terkait, yang merupakan faktor pendukung dari proses pelayanan tersebut. Faktor-faktor pendukung yang tidak baik, akan dapat menghambat pelayanan itu sendiri.
Adapun  faktor-faktor pendukung  proses pelayanan yang semestinya selalu mendapatkan perhatian seksama, diantaranya adalah :
1.      faktor kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam pelayanan;
2.      faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan;
3.      faktor organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan;
4.      faktor pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum;
5.      faktor ketrampilan petugas; dan
6.      faktor sarana alam pelaksanaan tugas pelayanan (Moenir, 1992:88).
Dalam proses pelayanan dari suatu organisasi, faktor-faktor di atas merupakan sistem yang terkait satu sama lain dan saling melengkapi/mempengaruhi pada keterpaduan. Oleh karenanya kerusakan salah satu faktor dalam pelayanan akan mempengaruhi etika pelayanan dari organisasi itu sendiri.
Faktor kesadaran mencakup kesadaran para pejabat dan petugas yang berkecimpung dalam tugas pelayanan menunjukkan suatu keadaan pada jiwa seseorang yaitu merupakan titik temu atau equilibrium dari berbagai pertimbangan sehingga diperoleh suatu keyakinan, ketenangan, ketetapan hati dan keseimbangan dalam jiwa yang bersangkutan. Moenir (1992:89) merumuskan bahwa kesadaran adalah “Suatu proses berpikir melalui metode renungan, pertimbangan dan perbandingan, sehingga menghasilkan keyakinan, ketenangan, ketetapan hati dan keseimbangan dalam jiwanya sebagai pangkal tolak untuk perbuatan dan tindakan yang akan dilakukan”. Adanya kesadaran dapat membawa seseorang kepada keikhlasan dan kesungguhan dalam menjalankan atau melaksanakan suatu kehendak. Dalam suatu organisasi kehendak tersebut tertuang dalam bentuk tugas, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengikat semua orang dalam organisasi. Sehingga proses pelayanan dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan disiplin tercermin dalam tingkah laku dan perbuatannya.
Aturan merupakan perangkat yang amat penting dalam segala tindakan dan perbuatan orang apalagi dalam organisasi. Aturan harus dibuat untuk dipatuhi agar sasaran dapat tercapai sesuai dengan maksudnya. Aturan organisasi akan mengarahkan pegawai untuk disiplin dalam perwujudan kerja.
Faktor struktur dan mekanisme kerja dalam mencapai tujuan organisasi yaitu pelayanan yang memadai bukan hanya semata-mata sebagai perwujudan susunan organisasi, melainkan menekankan pada pengaturan dan mekanisme kerja untuk menghasilkan pelayanan yang memadai dan perlu didukung oleh sistem, prosedur, dan metode.
Sistem merupakan hal yang cukup menentukan dalam proses pelayana, karena sistem merupakan  suatu rangkaian komponen yang membentuk kesatuan yang utuh, saling tergantung dan mempengaruhi dalam suatu keterpaduan untuk mencapai suatu tujuan organisasi. Dengan demikian sistem dalam organisasi harus dijaga agar mekanismenya berjalan sebagaimana mestinya. Agar organisasi sebagai suatu sistem dapat berfungsi dengan baik perlu ada job description secara terinci agar setiap aparat dapat melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik.
Dalam penyelenggaran pelayanan  prosedur dan metode amat penting dalam menentukan kelancaran dalam mencapai tujuan organisasi. Prosedur adalah rangkaian tindakan/langkah yang harus diikuti dalam usaha mencapai tujuan atau suatu tata cara kerja yang sah. Sedangkan metode adalah memiliki batasan yang lebih sempit dari prosedur yaitu hanya berlaku pada satu unit saja. Jadi metode adalah cara yang dilakukan seseorang untuk menyelesaikan suatu tahap dari rangkaian pekerjaan yang paling mudah dan efisien diantara beberapa cara yang ada. Namun cara termudah dan efisien dimaksud sesuai dengan prosedur.
Faktor lain adalah pendapatan pegawai. Pendapatan adalah seluruh  penerimaan seseorang sebagai imbalan atas tenaga dan atau pikiran yang telah dicurahkan untuk orang lain atau organisasi yang diperoleh dari organisasi tempat kerja sesuai dengan kedudukan dan peranannya dalam organisasi. Pendapatan haruslah dapat memenuhi kebutuhan hidup baik untuk sendiri maupun keluarga. Pendapatan merupakan faktor pendukung dalam penyelenggaraan pelayanan, karena tujuan orang bekerja adalah untuk mendapatkan imbalan yang  sepadan untuk memenuhi kehidupannya. Apabila pendapatan tidak mencukupi maka dalam pelaksanaan pelayanan mereka diliputi rasa resah dan tidak tenang, sehingga pelayanan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Faktor kemampuan dan ketrampilan merupakan hal penting dalam mendukung proses pelayanan. Karena dengan kemampuan dan ketrampilan yang memadai, pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.
Sarana pelayanan merupakan faktor penting pula dalam pelayanan karena berfungsi sebagai alat utama membantu pelaksanaan pekerjaan. Sarana pelayanan dimaksud ada dua macam yaitu sarana kerja dan fasilitas. Sarana kerja meliputi peralatan, perlengkapan, dan alat bantu. Sedangkan fasilitas meliputi gedung dengan segala perlengkapannya.
Adanya dukungan dari factor-faktor di atas dalam pelayanan publik tentunya diharapkan dapat memenuhi harapan yang didambakan oleh setiap orang yang membutuhkan  pelayanan. Dambaan itu diantaranya adalah :
1.      kemudahan dalam pengurusan kepentingan;
2.      mendapatkan pelayanan yang wajar;
3.      mendapatkan perlakuan yang sama tanpa pilih kasih;
4.      mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang (Moenir, 1992:47).
Pemberian pelayanan yang baik dan memuaskan kepada manajemen maupun masyarakat, tentunya akan muncul suatu dampak yang positif di masyarakat yaitu :
1.      masyarakat menghargai korps pegawai;
2.      masyarakat patuh terhadap aturan-aturan pelayanan;
3.      masyarakat bangga terhadap korps pegawai;
4.      ada kegairahan usaha dalam masyarakat;
5.      ada peningkatan dan pengembangan dalam masyarakat menuju segera tercapainya masyarakat adil dan makmur (Moenir, 1992:47).
4.5  Pemimpin Etis
Organisasi merupakan sistem kegiatan terkoordinasi dari kelompok orang yang bekerjasama mengarah pada tujuan bersama di bawah kewenangan dan kepemimpinan. Siagian (1988:24), memberi pengertian kepemimpinan sebagai kemampuan dan ketrampilan seeorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain, terutama bawahannya, untuk berpikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif ia memberikan sumbangsih nyata dalam pencapaian tujuan organisasi. Selanjutnya, Minzberg (Davis,1993:152), menyatakan: ”Kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias mencapai tujuan”.
Peran moral kepemimpinan dalam upaya membantu pelaksanaan pelayanan publik yang baik sangatlah besar, sebagaimana diungkapkan oleh Putra Fadillah (2001:34), bahwa moral kepemimpinan pejabat publik untuk berbuat baik dalam pelayanan publik dan mematuhi norma hukum yang berlaku akan mewujudkan jati diri birokrasi dan pelayanan publik yang sejati.
Masyarakat modern berkepentingan dengan kepemimpinan yang baik, dan mampu menuntun organisasi sesuai dengan asas-asas manajemen modern, sekaligus juga bersedia memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada bawahan dan masyarakat luas. Luasnya kegiatan manusia modern, dirasakan perlu ada pemimpin-pemimpin yang efektif dan baik budi pekertinya. Dengan demikian kepemimpinan etis diperlukan dan penting dalam sebuah organisasi, karena memiliki alasan sebagai berikut:
1.      Berguna untuk memandu, menuntun, membimbing, membangun, memberi atau membangun motivasi-motivasi kerja, dan mengemudikan organisasi sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
2.      Menjalin jaringan-jaringan komunikasi yang baik, memberikan pengawasan yang efesien, dan membawa para pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju sesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan.
3.      Menunjukkan kepemimpinan yang etis sebagai salah satu hal, penting untuk menunjukkan moral yang baik dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, berdasarkan nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan yang berlaku, sehingga dijadikan panutan dan dapat di ikuti oleh bawahan dalam melaksanakan tugasnya.
4.6  Kondisi Pelayanan.
Hasil kajian tentang etika pelayanan publik di Instansi teknis di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar dalam hal pengurusan KTP yang dilakukan oleh Sudana (2003) disimpulkan etika pelayanan belum optimal diterapkan dalam pelayanan publik. Hal ini dapat dilihat: pertama, lemahnya penerapan kode etik aparat dalam pelayanan, yang terindikasi dari adanya tindakan-tindakan yang menyimpang dalam memberikan pelayanan. Beberapa oknum  aparat kadang-kadang menawarkan diri sebagai biro jasa atau calo yang mengarah kepada tindakan terjadinya korupsi; kedua, rendahnya kesadaran aparat birokrasi akan tanggung jawab dan disiplin dalam proses pelayanan, dan masih adanya tindakan diskriminasi pelayanan yang mengarah pada unsur nepotisme; ketiga, etika birokrasi dalam pelayanan publik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Fenomena pemberian pelayanan ini terlihat. Seperti tindakan aparat yang mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan. Dengan demikian, masyarakat pengguna jasa dirugikan dalam pelayanan secara komprehensif.
Lemahnya penerapan etika dalam pelayanan publik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1.      Pengawasan.
Mekanisme pengawasan yang berfungsi sebagai antisipasi terhadap adanya tindakan-tindakan penyimpangan dalam penegakan etika pelayanan di Dinas tersebut dapat dinilai belum berjalan dengan baik dalam artian pengawasannya lemah. Hal ini terjadi karena:  pertama, berkaitan pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan pelaksanaannya monoton, hanya dilakukan pada saat apel, bukan pada saat jam-jam pelayanan.  Dan sebaliknya saran dan kritik yang dilakukan bawahan terhadap atasan hanya ditampung saja tidak ditindak lanjuti oleh atasan; kedua, pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap organisasi tersebut tidak mendapat respon dari pihak-pihak yang berkompeten dalam organisasi ini, sehingga tidak ada umpan balik dalam mengevaluasi program selanjutnya, dan pengawasan yang melibatkan masyarakat secara langsung sebagai kekuatan bagi mekanisme chek and balances dalam proses penyelenggaraan negara menjadi sia-sia. Seperti pepatah lama ‘bagaikan anjing menggongong kafilah tetap berlalu’.
2 Konsitensi Aparat Birokrasi.
Aparat belum memiliki konsistensi dalam penerapan etika pelayanan publik. Dalam artian, masih lemahnya kesadaran aparat birokrasi dalam penegakkan etika pelayanan publik.  Hal ini terjadi karena: pertama, ketetapan aparat dalam bertindak yang sesuai aturan dengan pelayanan secara faktual terdapat kesenjangan; kedua, masih rendahnya rasa memiliki terhadap organisasi di tempat mereka bekerja, sehingga berimplikasi kepada pekerjaan yang dilakukan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh berdasarkan hati nurani.
3. Komunikasi
Komunikasi belum berjalan efektif karena komunikasi yang telah dilakukan oleh pihak aparat dalam mensosialisasikan aturan seperti melalui penyebaran brosur, media cetak, dan melalui penyuluhan-penyuluhan langsung ke masyarakat belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini disebabkan oleh minimnya tenaga penyuluh yang dimiliki oleh instansi yang bersangkutan, luasnya jangkuan wilayah penyuluhan,disamping adanya sikap apatis masyarakat dalam merespon informasi yang sebenarnya diperlukan.















BAB V
PENUTUP

5.1  Kesimpulan
Dari hasil penelitian kami tersebut dapat kami tarik beberapa kesimpulan antara lain:
1.      Otonomi membutuhkan pelayanan yang cepat, tepat, dekat, murah.
2.      Etika seringkali tidak dipaham.
3.      Etika pelayanan tidak dijalankan
4.      Masih banyak terjadi mal-administrasi
5.      Memerlukan dukungan semua pihak, sarana prasarana maupun panutan kepemimpinan.
6.      Kepuasaan masyarakat masih kurang terhadap pelayanan yang diberikan birokrasi.
5.2  Saran-saran
  1. sosilalisasikan etika pelayanan publik
  2. perbaiki sistem rekruitmen
  3. berikan sanksi yang tegas dan penghargaan yang sesuai

.



DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 1977. Etika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dwiyanto Agus, Partini, Ratminto, Wicaksono Bambang, Tamtiari Wini, Kusumasari Bevaola, dan Nuh Muhamad. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), UGM., Yogyakarta.
Gie, The Liang. 1986.  Etika pemerintahan. Yayasan Obor, Jakarta.
.——–.1998. Kode Etik Bagi Petugas Pemerintahan, Bahan Pemikiran Untuk Membina Pegawai Negeri yang Bersih dan Berwibawa. Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB), Yogyakarta..

Zauhar, Soesilo.  1996. Reformasi Administrasi Konsep, Dimensi, dan Strategi. Bumi Aksara, Jakarta.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons